Sepakan

Menebus Cinta Klub dengan Nyawa: Kisah Tragedi Suporter PSIS Semarang

417
×

Menebus Cinta Klub dengan Nyawa: Kisah Tragedi Suporter PSIS Semarang

Sebarkan artikel ini
Baca kisah tragis suporter PSIS Semarang yang rela membayar dengan nyawa
Ilustrasi

TIMNAS.CO – Juli 1997. Krisis finansial menerpa Asia. Tak terkecuali Indonesia. Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat kian melemah.

Harga kebutuhan pokok semakin melambung. Diperparah dengan banyaknya perusahaan yang gulung tikar yang berefek gelombang PHK.

Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah semakin menipis. Saling curiga sudah jadi pemandangan umum. Demonstrasi merebak. Mahasiswa yang menyuarakan aspirasi tewas tertembak.

Puncaknya terjadi kerusuhan Mei 1998 di Jakarta dan beberapa kota besar. Sebuah catatan kelam yang semoga tidak akan pernah terulang kembali.

Akibat kondisi yang tidak menentu itu, pada 25 Mei 1998, kompetisi Liga Indonesia 1997-1998 dibubarkan setelah 234 laga dimainkan.

Tak perlu menunggu waktu lama, Liga Indonesia 1998-1999 kembali digulirkan. Sepak mula kompetisi dimulai pada tanggal 1 November 1998 bersamaan dengan diadakannya Sidang Istimewa DPR/MPR.

Tanggal 11 sampai 13 November 1998 terjadi lagi tragedi berdarah di Semanggi, Jakarta. Tragedi yang menewaskan 17 warga sipil itu kemudian dikenal dengan Tragedi Semanggi I.

Ada kekhawatiran Liga Indonesia akan dihentikan lagi. Namun nyatanya liga diteruskan. Jumlah klub yang ikut serta saat itu ada 28 klub. Turun dari 31 klub yang berlaga musim lalu.

Saat Liga Indonesia sudah memasuki Babak 10 Besar, seperti tradisi yang sudah-sudah, semua pertandingan akan dilangsungkan di Senayan, Jakarta.

Tiap laga dijaga ketat. Antisipasi kerusuhan. Apalagi memang Stadion Utama Senayan jaraknya hanya selemparan batu dengan Gedung DPR/MPR. Sebagai antisipasi juga bilamana suporter ditunggangi pihak tertentu.

Liga Indonesia 1998-1999 akhirnya memasuki babak semifinal. 4 klub yang lolos adalah klub tradisional dengan basis massa yang sangat besar: Persebaya Surabaya, PSMS Medan, Persija Jakarta, dan .

Musim 1998-1999 adalah musim yang ajaib bagi klub Semarang tersebut. Baru saja promosi namun sudah memberi kejutan.

Tanggal 1 April 1999, 4 klub tersebut dijadwalkan akan bentrok di Senayan. Persebaya dan PSMS akan memulai laga terlebih dahulu pada sore hari. Sementara dilanjutkan Persija dan PSIS pada malam hari.

Ribuan suporter memadati Jakarta. Tak terkecuali suporter PSIS. Mereka rela datang jauh-jauh. Ada yang menggunakan bus, ada juga yang datang dengan kereta api.

31 Maret 1999, rombongan suporter PSIS memadati Stasiun Pasar Senen. Tujuan mereka cuma satu: Senayan.

Sebagian suporter berangkat lebih dulu dengan bus kota. Namun tiba-tiba datang rombongan Brimob dan Pengendali Massa.

Mereka memberikan tumpangan gratis sampai Senayan. Namun nyatanya, truk aparat yang mengangkut rombongan suporter itu malah menuju Lenteng Agung.

Curiga akan diamankan di Mako Brimob Kelapa Dua, suporter pun marah dan mengamuk. Truk aparat yang mengangkut mereka dirusak dekat Stasiun Lenteng Agung.

Masih dalam kondisi marah, beberapa suporter berniat melanjutkan perjalanan ke Senayan. Mereka berjalan menuju Stasiun Lenteng Agung dengan niat menumpang kereta api.

Naas, karena terburu-buru, sebagian suporter tidak melihat ada kereta yang lewat. 10 orang suporter PSIS tewas seketika di tempat kejadian. Sebelumnya dalam perjalanan ke Semarang, sudah ada satu suporter PSIS yang tewas.

Suporter tersebut naik diatas gerbong, saat melintasi Stasiun Jatinegara, bendera yang dibawa tersangkut kabel. Suporter itu jatuh dan tewas.

1 April 1999, PSIS akhirnya menang atas Persija lewat gol tunggal Ebanda Timothy pada menit ke-83. Final impian menanti.

Sayangnya, partai final dipindah ke Stadion Klabat, Sulawesi Utara. Suporter PSIS akhirnya hanya bisa pasrah tak dapat mendukung langsung tim kesayangannya.

Saat itu kondisi Indonesia, khususnya Jakarta memang masih belum kondusif. Ditambah lagi Indonesia akan mengadakan Pemilihan Umum pada bulan Juni 1999.

Alasan keamanan memang menjadi faktor utama dipindahkannya venue laga final. Terlebih lagi, suporter PSIS dan suporter Persebaya punya tensi rivalitas yang tinggi.

Akhirnya dua suporter tersebut dipulangkan ke Semarang dan Surabaya demi menghindari bentrok.

PSIS akhirnya keluar sebagai juara musim 1998-1999 dengan mengalahkan Persebaya 1-0 di final. Namun perjalanan juara mereka harus dibayar dengan darah.

Untungnya, perilaku suporter saat ini sudah banyak yang berubah. Meski memang masih ada riak yang mengganggu. Dengan begitu, tak ada lagi cerita suporter yang harus membayar dengan nyawa demi tim kesayangannya.