Seperti layaknya roda kehidupan yang terus berputar, ada kalanya berada di atas, namun juga ada saatnya berada di bawah.
Kalimat kiasan ini mungkin sangat cocok dengan situasi saat ini yang mendera Persipura Jayapura, klub kebanggaan warga Papua.
Ya, Persipura pernah menjadi suatu kekuatan besar di Liga Indonesia. Tak tanggung-tanggung, Persipura merupakan peraih gelar juara Liga Indonesia sebanyak empat kali.
Persipura mampu meraih gelar juara Liga Indonesia di musim 2005, kemudian mengulanginya di musim 2008, 2011, dan 2013.
Capaian ini menjadikan Persipura menjadi klub terbanyak peraih gelar Liga Indonesia, terhitung sejak peleburan kompetisi Perserikatan dan Galatama di tahun 1994 silam.
Namun, klub berjuluk Mutiara Hitam ini mengalami kemunduran prestasi dan bahkan terancam absen dari kompetisi sepak bola Indonesia.
Catatan buruk Persipura dimulai ketika mereka rontok pada ajang Liga 1 di musim 2021/2022 silam. Untuk pertama kalinya, Persipura terdegradasi ke Liga 2 di musim berikutnya.
Saat ini merupakan musim kedua Persipura berlaga di kasta kedua Liga Indonesia. Lagi-lagi, klub Mutiara Hitam ini menghadapi sejumlah kendala sehingga terancam tak mengikuti kompetisi.
Penyebabnya, Persipura tidak kunjung mendapatkan sponsor. Ketiadaan sponsor ini secara otomatis membuat mereka tidak dapat membiayai segala operasional dan aktivitas persepakbolaan yang ada di klub tersebut.
Dampaknya, para pemain tak bisa menggelar kegiatan sesi latihan bersama dan tidak dapat melakukan transfer antar pemain dari/ke dalam atau luar klub, seperti halnya yang dilakukan oleh klub-klub Liga 2 lainnya.
Sebelumnya, Bank Papua dan Freeport Indonesia merupakan sponsor utama dari Persipura. Namun, kedua pihak tersebut belum bersedia mengucurkan dana karena ketidakjelasan laporan keuangan dari manajer Persipura sebelumnya, Yan Mandenas.
Manajemen Persipura saat ini, Tomi Mano mengaku telah berkali-kali mengirim surat kepada manajer sebelumnya mengenai pertanggungjawaban keuangan musim lalu. Namun, tak digubris sama sekali.