TIMNAS.CO – Ilija Spasojevic buka suara atas kejadian pelanggaran atas dirinya saat Bali United menghadapi Barito Putra dalam lanjutan Liga 1 tanggal 5 Februari 2023 kemarin.
Melalui akun twitter-nya, penyerang Timnas Indonesia itu menyoroti dua kejadian pelanggaran keras terhadap dirinya yang dilakukan oleh pemain yang sama, Yuswanto Aditya.
Pada babak pertama saat pertandingan akan memasuki half time, nampak Spaso dan Yuswanto berebut bola di udara. Terlihat jelas memang ada dorongan tangan Yuswanto. Spaso jatuh dengan kepala bagian belakang membentur lapangan.
Pada babak kedua, terjadi duel lagi antara Yuswanto dengan Spaso. Spaso tengah mengintai bola dalam kotak penalti Barito. Saat akan melakukam tendangan voli, Yuswanto mencoba menghalangi. Kaki kanan Yuswanto menyepak muka Spaso dengan kerasnya. Tidak ada peringatan. Tidak ada pelanggaran.
Yuswanto sendiri pernah mendapatkan kartu merah pada musim ini saat Barito berhadapan dengan RANS Cilegon. Tekel keras dari depan yang dilakukan sambil meluncur ke kaki Alfin Tuasalamony yang sedang melakukan akselerasi kencang jelas sangat membahayakan. Salah-salah, karirnya bisa tamat.
Sepakbola jelas permainan keras. Sering kali kita mendengar argumen macam: “Main galasin aja kalo ga mau kena tekel! Sepakbola itu keras, bro?”. Sungguh konyol sekali.
Sepakbola memang keras. Jangankan pertandingannya, perjalanan yang ditempuh pemain agar bisa menjadi pesepakbola profesional pun penuh keringat dan darah. Tapi justru karena itulah, tidak perlu sampai benar-benar kasar terhadap pemain lawan.
Karena sama-sama menempuh jalan yang terjal, maka sudah sewajarnya di pikiran pemain terpatri bahwa mereka semua mengandalkan isi periuk nasinya dari sepakbola.
Masih segar dalam ingatan bagaimana aksi kungfu dua pemain yang pernah membela Timnas saat AHHA PS Pati FC berhadapan dengan Persiraja Banda Aceh. Kedua aksi memalukan itu dilakukan oleh pemain AHH PS Pati FC: Syaiful Indra Cahya dan Zulham Zamrun di waktu yang berbeda.
Pemain Persiraja, Muhammad Nadhiif bahkan harus mendapatkan perawatan setelah wajahnya terkena tendangan kungfu dari Syaiful Indra Cahya. Beruntung, tidak ada cedera serius. Namun Nadhiif harus mengalami patah gigi.
Dan publik mungkin tidak akan lupa bagaimana Jumadi Abdi dan Akli Fairuz sampai harus meregang nyawa akibat terlalu seringnya pelanggaran keras diabaikan oleh perangkat pertandingan. Mereka adalah korban dari sikap pembiaran tersebut.
Dalam kasus Spaso dengan Yuswanto, melihat isi cuitan Spaso, tersirat jelas Spaso tidak menyimpan dendam terhadap Yuswanto. Spaso menekankan pentingnya perlindungan terhadap pemain agar sepakbola Indonesia lebih baik lagi.
Yuswanto masih muda. Prospeknya bagus. Bukan tidak mungkin suatu saat dia bisa membela Timnas Indonesia.
Dengan tindakan tegas dari pengadil, sebenarnya melindungi pemain yang melakukan pelanggaran itu sendiri. Pemain jadi sadar, jika dia melakukan pelanggaran, dia bisa dikeluarkan dari lapangan. Bisa saja klub memberi denda. Yang berarti merugikan dia sendiri.
Pemain pun dapat kembali mengasah kemampuan bagaimana cara bertahan, bagaimana cara merebut bola yang benar. Keras dan tanpa kompromi boleh. Tapi harus tetap dilakukan dengan benar.
Pemain juga bisa terhindar dari tindakan pelanggaran yang berujung pada tindak kriminal. Mental pemain pun jadi semakin terbentuk.
Banyak sorotan ketika membela Timnas, kebiasaan untuk melakukan pelanggaran terbawa ke Timnas. Padahal yang menjadi pengadil dalam laga-laga internasional adalah wasit dari luar. Lagi-lagi Timnas yang dirugikan.
Selain wasit, tiap klub perlu melindungi pemainnya dengan merekrut staf dokter dan fisio yang mumpuni. Publik pernah geger saat klub PSS Sleman ternyata mempekerjakan dokter dengan ijazah palsu. Parahnya lagi, dia bahkan diangkat sebagai dokter Timnas U-19.
Psikolog atau psikiater juga perlu direkrut oleh klub. Kesehatan mental pemain dapat diawasi. Psikolog atau psikiater juga dapat memberikan terapi manajemen kepada pemain. Karena menjadi pemain, tentu dapat membuat mental menjadi lelah karena tekanan dituntut tampil baik.
Manajemen stres juga dibutuhkan terutama bagi pemain yang terkenal temperamen.
Panitia pertandingan juga harus selalu siap. Ambulans adalah kewajiban. Kontak dengan Unit Gawat Darurat Rumah Sakit terdekat juga perlu. Tim medis juga harus yang mumpuni.
Mereka harus menguasai tindakan darurat apa saja yang harus dilakukan ketika terjadi kejadian yang tidak diinginkan. Termasuk pemain itu sendiri.
Setidaknya pemain juga dibekali pengetahuan tentang pertolongan pertama. Seperti misalnya pertolongan yang harus diberikan saat ada pemain lain yang pingsan atau menelan lidahnya.
Kejadian yang membuat meregangnya nyawa kiper Persela Lamongan, Choirul Huda, adalah contoh nyata bagaimana lambat dan kurang sigapnya tim medis dan panitia.
Sepakbola memang keras. Tapi jika sampai membuat pemain harus mengakhiri karirnya akibat tidak adanya perlindungan dari semua pihak yang terlibat, lebih baik tak usah ada sepakbola saja dan main lato-lato.