1 Oktober kini bukan hanya menjadi sejarah kelam bagi dunia politik tanah air. Di mana pada tahun 1965, pasukan Cakrabirawa menculik dan membunuh para petinggi TNI Angkatan Darat di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Namun, masih segar dalam ingatan kita semua, pada 1 Oktober 2022 malam hari di Stadion Kanjuruhan, Malang, telah terjadi peristiwa pembantaian massal terhadap para suporter.
Peristiwa ini bermula dalam laga Derby Jatim antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya. Laga itu dimenangkan oleh Persebaya Surabaya dengan skor 3-2.
Awalnya, laga berjalan seperti biasa. Namun, keadaan berubah menjadi peristiwa paling berdarah sepanjang sepak bola Indonesia, bahkan dunia.
Para suporter merangsek memasuki lapangan, hal ini direspons secara represif oleh aparat kepolisian dengan menembakkan gas air mata ke arah penonton dan tribun stadion.
Pelepasan gas air mata ini kemudian memicu kepanikan para suporter untuk mencari pintu keluar. Hal ini menyebabkan para penonton berdesak-desakan karena panik dan menimbulkan korban jiwa.
Tak tanggung-tanggung, sebanyak 135 orang meninggal dunia dalam peristiwa ini. Bahkan, Tragedi Kanjuruhan tercatat menjadi peristiwa berdarah nomor dua di dunia setelah insiden di Estadio Nacional, Peru, pada 1964 silam.
Dalam kasus di Peru, sebanyak 328 korban jiwa melayang karena hal yang sama. Ya, insiden itu terjadi akibat gas air mata!
Padahal, akibat kejadian di Peru tersebut, FIFA sebagai otoritas tertinggi sepak bola dunia sudah mengeluarkan regulasi mengenai prosedur pengamanan dalam suatu pertandingan.
Dalam Pasal 19b FIFA Stadium Safety and Security Regulation menyatakan dengan tegas, jika ‘gas pengontrol kerumunan' dilarang dipakai dalam stadion.
Sejumlah kecaman ditujukan kepada aparat keamanan yang bertindak pada tragedi tersebut. Kepolisian akhirnya menetapkan enam orang tersangka dalam kasus ini.
Lima tersangka di antaranya telah menjalani persidangan dan dijatuhi vonis, sementara satu orang lagi belum dilimpahkan ke kejaksaan oleh penyidik Polda Jatim.
Sejumlah kontroversi menghiasi penegakan keadilan dari peristiwa tersebut. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya memvonis bebas Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi dan eks Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto, pada Kamis (16/3/2023).
Namun, vonis bebas itu kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA). Oleh MA, Bambang dihukum dua tahun penjara. Sedangkan Wahyu dihukum 2,5 tahun penjara.
Selain Bambang dan Wahyu, MA juga memperberat hukuman Ketua Panitia Pelaksana Arema FC Abdul Haris dari 1,5 tahun menjadi dua tahun penjara.
Adapun, security officer Suko Sutrisno divonis satu tahun penjara dan mantan Danki 3 Brimob Polda Jawa Timur Hasdarmawan divonis 1 tahun 6 bulan penjara.
Tak hanya itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat sejumlah hal kontroversial lainnya terkait Tragedi Kanjuruhan.
Di antaranya, terbatasnya akses terhadap pengunjung atau pemantau persidangan di awal-awal sidang, terdakwa sempat hanya dihadirkan secara daring.
Selain itu, Hakim dan Jaksa Penuntut Umum cenderung pasif dalam menggali kebenaran materil, minimnya keterlibatan saksi korban dan keluarga korban sebagai saksi dalam persidangan, serta komposisi saksi yang didominasi aparat kepolisian. I
KontraS juga mengungkap, adanya intimidasi anggota Polri dengan membuat kegaduhan dalam proses persidangan, serta terjadi peristiwa kekerasan dan intimidasi terhadap keluarga korban yang tidak diungkap secara utuh.