Sepakan

Kisah Stadion Tertua Kota Solo dalam Perjalanan Sepakbola Indonesia

39
×

Kisah Stadion Tertua Kota Solo dalam Perjalanan Sepakbola Indonesia

Sebarkan artikel ini
Kota solo dan sepakbola
Ilustrasi Persis Solo

Tanggal 17 Februari kemarin, kota Solo berulang tahun yang ke-278. Lebih tua dari Amerika Serikat.

Bagi saya, Solo adalah kota yang penuh kenangan. Jika bukan karena kesalahan saya sendiri yang salah lihat sewaktu mengisi formulir Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB), mungkin saya benar-benar masuk perguruan tinggi di Semarang yang sebenarnya memang jadi incaran saya. 

Untuk mereka yang hendak melanjutkan studi ke Jawa Tengah dan sekitarnya, Solo jelas masih kalah gemerlap dengan Yogyakarta. Tapi bagi saya, malah Solo lebih kondusif untuk belajar dibandingkan dengan Yogya meski dalam hal fasilitas ada yang tertinggal lumayan jauh. 

Dan untuk , Solo punya kisah yang menarik untuk diceritakan.

Di tengah padatnya jalan Slamet Riyadi yang menjadi urat nadi kota Solo, anda akan menemukan sebuah kawasan yang masih rimbun dan teduh. Ada penjual jus buah yang ramai dan terkenal di Solo. Namanya Jus Bhayangkara.

Nah, tepat di seberang tukang jus ini, ada stadion sepak bola yang punya sejarah: Stadion Sriwedari. Stadion ini boleh dibilang salah satu stadion tertua di Indonesia.

Digagas pada tahun 1932 dan rampung setahun ini adalah markas Persis Solo pada waktu itu. Saat itu Pakubuwana X yang juga gila sepak bola merasa prihatin dengan adanya kesenjangan.

Orang Belanda dan Eropa biasa bermain sepak bola di stadion mereka sendiri dengan kondisi yang bagus. Sementara kaum pribumi hanya bisa bermain bola di tanah kosong. 

Stadion ini kemudian menjadi tempat pembukaan Pekan Olahraga Nasional atau PON I tahun 1948.

Sempat berganti nama menjadi Stadion R. Maladi pada tahun 2003 untuk menghormati jasanya dalam perjuangan dan olahraga, terutama sepakbola.

Namun kembali lagi memakai nama Stadion Sriwedari pada November 2011.

Waktu saya pertama kali datang ke Solo, saat itu masih belum kembali ke kasta teratas Liga Indonesia. Dan mereka masih bermarkas di Stadion Sriwedari. Tapi saat mereka bertanding, Stadion Sriwedari tetap penuh dan bergemuruh.

Sayangnya saya tak meluangkan waktu untuk sekedar menonton melihat atmosfer pertandingan di Stadion Sriwedari. Hal yang saya sesali hingga saat ini.

Dari Stadion Sriwedari, kita kembali ke Jalan Slamet Riyadi, mengambil jalan lurus ke arah Purwosari, lalu belok kanan di perempatan lampu merah Solo Grand Mall, kita masuk ke Jalan dr. Moewardi.

Kawasan ini lebih dikenal dengan Kota Barat, ada Lapangan Kota Barat. Meski bukan stadion dan hanya ada satu tribun, tapi boleh dibilang kondisinya sangat baik dan terawat.

Rumputnya pun masuk kategori kelas A. Beda sekali dengan lapangan kecamatan di kota saya tinggal saat ini.

Lapangan Kota Barat kerap menjadi tempat latihan klub sepakbola yang tersebar di Solo. Saat tahun politik tiba, lapangan ini sering digunakan sebagai tempat titik pusat kampanye.

Dari Lapangan Kota Barat, kita menuju ke arah utara. Tepatnya Jalan Adi Sucipto. Di sinilah terdapat kawasan dengan fasilitas olahraga yang komplit.

Di kawasan ini masyarakat Solo dimanjakan dengan berbagai fasilitas olahraga mulai dari arena jogging, basket, tennis, softball, hingga tempat jajan ada di sini. Universitas Sebelas Maret juga membuka kampus untuk jurusan Pendidikan Olahraga dan Kesehatan di sini.

Lengkap sudah predikat Manahan sebagai pusat aktivitas olahraga kota Solo. Sejak dulu kawasan ini memang digunakan sebagai tempat berolahraga masyarakat Solo. Kawasan ini dulu juga dipakai oleh kalangan Keraton Surakarta untuk tempat berkuda. 

Di tengah kawasan ini ada lapangan yang sangat luas. Saking luasnya, bisa dibagi-bagi beberapa bagian untuk warga main bola. Kawasan ini sangat teduh dengan banyaknya pohon cemara di sekitarnya. 

Pada tahun 1989, masyarakat sudah tidak dapat menggunakan lapangan ini lagi. Karena di tempat itulah akan dibangun stadion yang kelak menjadi simbol kebanggaan kota dan masyarakat Solo.

Saat itu, Ibu Tien Soeharto sedang gandrung dengan pembangunan “miniatur”. Setelah proyek “miniatur Indonesia” alias Taman Mini Indonesia, kali ini Ibu Tien berencana untuk membangun “miniatur Senayan” di kota kelahirannya, Solo.

Maka kemudian dibangunlah kompleks olahraga Senayan dengan Stadion Manahan sebagai pusatnya. Proyek pembangunan stadion ini memakan waktu yang cukup lama, yakni 9 tahun. Stadion Manahan diresmikan oleh Pak Harto pada Februari 1998. 

Sayangnya Ibu Tien tidak sempat melihat megahnya Stadion Manahan karena pada 1996, Ibu Tien berpulang. 

Stadion Manahan dapat menampung 20.000 penonton. Pada awalnya, Stadion Manahan memiliki tribun yang tak beratap. Baru setelah renovasi pada tahun 2019, semua tribun di Stadion Manahan beratap. 

Stadion Manahan kemudian menjadi markas bagi berbagai macam klub sepakbola. Arseto, Pelita Solo, dan Persijatim Solo FC pernah bermarkas di Manahan.

Uniknya, ketiga klub tadi awalnya bermarkas di Jakarta. Bahkan Persija Jakarta sendiri pernah bermarkas di Manahan.

Uniknya, meski memiliki “klub asli” Persis Solo, namun antusiasme masyarakat ketika klub-klub tersebut bertanding di Manahan boleh dibilang cukup tinggi. Bahkan ketika klub lain juga ikutan “numpang” sebentar, Manahan tetap ramai.

Stadion Manahan juga sempat menjadi markas klub Liga Primer Indonesia (LPI), Ksatria Solo FC. Sayangnya umur klub ini seperti LPI, tidak panjang. Tapi yang saya ingat, dulu Ksatria Solo FC punya kiper asal Australia bernama Alex Verteski. Dan sempat menjadi idola remaja putri di Solo karena wajah tampannya.

Sayangnya meski megah, Manahan sering kali banjir. Bahkan sempat masuk media Australia saat Persik Kediri berhadapan dengan Sydney FC pada gelaran Liga Champions Asia tahun 2007. 

Untuk masalah lapangan banjir saat hujan ini, Stadion Sriwedari yang sudah berumur masih jauh lebih baik. Bahkan kabarnya, Stadion Sriwedari termasuk stadion dengan sistem drainase yang baik di Indonesia.

Mengenai masalah ini, saya pernah mendengar komentar dari kawan saya yang asli Solo. Katanya jelas Sriwedari drainase-nya lebih baik dari Manahan karena perancangnya orang Belanda.

Laut saja bisa mereka keringkan, apalagi cuma genangan di lapangan bola. Untungnya Stadion Manahan melakukan perbaikan atas masalah ini.

Dan pada ajang tahun ini, Stadion Manahan akan menjadi stadion tempat pembukaan ajang tersebut.

Meski banyak yang berkomentar pemilihan tersebut berbau politik, namun tampaknya antusiasme masyarakat Solo dan Indonesia tetap besar dan berharap menjadi saksi mata acara pembukaan tersebut.

Itulah sedikit cerita tentang kota Solo dan Sepakbola.

Selamat Ulang Tahun Kota Solo! Terima kasih sudah menjadi bagian dari perjalanan dan perkembangan sepak bola Indonesia. Dan semoga bencana banjir yang sedang menimpa masyarakat dan kota Solo saat ini dapat segera teratasi.