Sepakan

Gol Bunuh Diri Bapak

607
×

Gol Bunuh Diri Bapak

Sebarkan artikel ini

Skandal itu telah merenggut dan mengubah banyak hal. Gelisah, dosa, malu, noda, semuanya mengitari setiap waktu dalam perjalanan hidupnya. Meski dihukum larangan tampil seumur hidup di level internasional, Mursyid mengaku tidak pernah menerima surat dari FIFA.

Ia menanggung semua dampak dari apa yang dia sebut sebagai kesepakatan bersama.

“Saya akan terus mengingatnya sampai akhir hayat,” ujar Mursyid di channel Youtube Pinggir Lapangan.

Apapun yang terjadi, hidup harus terus belanjut. Dia mencoba bertahan di dunia yang sangat ia cintai: Sepak Bola. Meskipun tak dapat lisensis kepelatihan setelah pensiun, Mursyid sempat menjadi asisten pelatih klub-klub lokal seperti, Persida Sidoarjo, Porda Surabaya, Mitra Surabaya, Persidafon Dafonsoro, dan Persebaya IPL.

Pada tahun 2014 lalu, skandal serupa juga sempat mewarnai jagad sepak bola Indonesia. Itu terjadi pada laga pamungkas babak delapan besar Divisi Utama Grup N yang digelar di Sasana Krida Akademi Angkatan Udara (AAU), Minggu (26/10/2014).

Pertandingan itu mempertemukan antara PSS Sleman vs PSIS Semarang. Sama dengan apa yang terjadi di sepak bola gajah Piala Tiger atau tahun 1998, drama terjadi di masa akhir pertandingan.

Setelah bermain tanpa gol hingga menit ke-80, tiba-tiba ada rentetan lima gol bunuh diri di waktu yang tersisa. Ya, ada lima Mursyid yang diduga seolah menuntaskan tugasnya. Laga itu berakhir dengan skor 3-2, untuk kemenangan PSS Sleman.

Pertandingan aneh itu sontak mengingatkan dengan apa yang ia alami, 10 tahun sebelumnya. Bahkan, ibarat magnet, masih ada saja yang mengaitkan sepak bola gajah antara PSS Sleman dan PSIS Semarang itu dengan dirinya. Seolah-olah, apa saja kecurangan yang terjadi di sepak bola Indonesia, muaranya Mursyid Effendi.

Detiksport pernah melansir wawancara Mursyid soal tanggapannya mengenai pertandingan antara PSS vs PSIS. Dia bercerita, pada skandal seperti itu, yang terlibat bukan hanya pelatih dan pemain, ada juga dalang di balik itu.

Menilik pengalaman sendiri di Vietnam waktu itu, kata Mursyid, semua komponen (manager pelatih, dan pemain) satu suara. Tak lama setelah pertandingan mereka masih memberikan dukungan, siap bertanggung jawab. Tapi dengan gampang juga melepaskan diri.