Masih kurang mengerti apa gunanya pelajar atau masyarakat mengadakan aksi tawuran. Gengsi, harga diri, atau memang sekedar menyalurkan kekesalan akan tekanan hidup.
Pada tahun 90-an hingga awal 2000-an, di Jabodetabek dan beberapa kota lain di Indonesia marak akan aksi ini khususnya di kalangan pelajar. Terutama pada hari Sabtu dan pada saat selesai ulangan umum.
Bahkan dulu santer kabar jika “sekolah A” berulang tahun, maka wajib menyediakan “tumbal” berupa potongan daun telinga siswa musuh sekolah tersebut. Agak mengerikan memang.
Bahkan sudah banyak pelajar ataupun warga yang meregang nyawa akibat aksi tawuran ini.
Intinya tawuran itu merugikan.
Ironisnya, arena tawuran bisa terjadi di lapangan hijau yang seharusnya sebagai simbol sportivitas.
Itulah yang terjadi pada final cabang olahraga sepak bola SEA Games 2023 bulan Mei lalu.
Dalam laga final yang mempertemukan dua rival abadi, Indonesia dan Thailand, ajang yang seharusnya bisa mempererat persahabatan malah dirusak oleh aksi tawuran.
Kejadian terjadi pada babak perpanjangan waktu. Awalnya bermula saat ofisial Thailand U-23 melakukan provokasi ke bangku cadangan Timnas Indonesia U-23.
Tawuran berlangsung lumayan sengit. Kartu merah terpaksa dikeluarkan oleh wasit. Kejadian tersebut mendapat kecaman dari FIFA.
AFC tidak mau menanggung malu, lantas melakukan penyelidikan. Dan hasilnya keluar pada 13 Juli 2023 kemarin.
Pemain dan ofisial Timnas Indonesia U-23 dan Thailand U-23 yang terlibat akhirnya dijatuhi vonis oleh AFC.
Timnas Thailand U-23 menjadi pihak yang paling berat menerima hukuman. Ada satu pemain dan tiga ofisial yang mendapatkan hukuman larangan bermain atau mendampingi Thailand selama 6 laga dan denda sebesar 1000 Dollar Amerika Serikat.
Satu pemain Thailand yang dimaksud adalah penjaga gawang Soponwit Rakyart.
Dan ada 4 ofisial Thailand U-23 yang mendapat larangan mendampingi Thailand sebanyak 6 laga.
Federasi Sepak Bola Thailand (FAT) juga diharuskan membayar denda sebesar 10.000 Dollar Amerika Serikat.
