Tapi ada juga yang mengartikan jika teriakan Markus Horison tersebut adalah ejekan bagi “orang luar negeri” tapi belum bisa memberikan apa-apa bagi Timnas Indonesia.
Dugaan tersebut kemudian diperkuat dengan adanya isu soal kubu “Anti Shin Tae-yong”.
Sayangnya, kini arti local pride menjadi sangat buruk. Coba saja kritik pemain Timnas Indonesia yang berdarah keturunan.
Pasti hujatan akan segera muncul.
Padahal yang dikritik performanya. Dan berdasarkan data serta bukti tayangan. Bukan asalnya darimana.
Bahkan sebagian besar suporter tidak setuju dengan penggunaan kalimat “pemain naturalisasi”.
Karena pemain tersebut sudah menjadi Warga Negara Indonesia.
Tapi mengkritik mereka, sama seperti masuk bagian dari “Kelompok Local Pride” yang entah keberadaannya ada atau tidak.
Anehnya, sewaktu mengkritik pemain lokal sungguhan, banyak yang satu suara.
Pemain lokal memang jelek. Mental pemain lokal tidak bagus. Dan macam-macam lainnya.
Hal yang agak serupa terjadi di Inggris. Suporter Timnas Inggris menyalahkan klub-klub top Liga Premier Inggris (EPL) karena enggan memakai pemain lokal Inggris sehingga prestasi The Three Lions di kompetisi internasional morat-marit.
Habis mau bagaimana, pemain lokal Inggris baru bagus sedikit sudah dihargai sangat mahal. Sementara di luar sana banyak pemain dengan paket serupa bahkan lebih komplit dengan harga yang lumayan murah.
Lucunya, suporter Timnas Inggris lantas menyalahkan pemainnya sendiri saat Timnas Inggris bermain buruk.
Tapi kemudian kembali menyalahkan klub-klub top EPL. Sebuah lingkaran setan.
Mirip-mirip dengan di Indonesia. Hanya saja sebagian suporter Timnas Indonesia seperti lebih bias dalam mendukung.
Yang lebih menyebalkan lagi, banyak yang menulis atau sengaja memplesetkan kalimat local pride dengan lokal pret misalnya.
Kesannya seperti menghina Kadar intelektual seseorang yang datang baik-baik dan coba menjelaskan.
Jadi kurang sedap menikmati sepak bola dan mengutarakan opini di Indonesia ini.