Manchester City berhasil menjungkalkan tetangganya, Manchester United dalam laga puncak Piala FA Sabtu, 3 Juni 2023 dengan skor 2-1.
Bahkan saat laga belum ada semenit, City sudah unggul lebih dulu lewat sepakan Ilkay Gundogan. Tapi yang menarik selain gol cepat Gundogan, City yang diarsiteki oleh Pep Guardiola sebenarnya bermain pragmatis alih-alih main cantik.
Terbukti dari gol kedua City yang dihasilkan oleh skema set pieces, bukan open play. Jujur saja, andaikan Manchester United punya pemain-pemain yang mampu melakukan pressing tinggi, City bisa saja kalah.
Tiki-Taka yang dipakai Guardiola saat masih bersama Barcelona sendiri sebenarnya sudah lama ditinggalkan sejak dirinya menangani Bayern Munich.
Bahkan Guardiola sendiri mengaku dirinya benci Tiki-Taka. Karena penguasaan bola tanpa penetrasi serangan sama saja omong kosong.
Bagi penghamba sepak bola indah, long pass adalah suatu dosa besar. Tapi Guardiola tidak peduli dengan hal tersebut.
Lalu bagaimana dengan di Indonesia? Klub Liga 1 sendiri sudah terbiasa dengan permainan bola-bola panjang. Masalahnya adalah akurasi dan pemanfaatan.
Pemain di Liga 1, khususnya pemain lokal jika mau jujur masih punya masalah dengan akurasi. Jika umpan pendek saja masih ngaco, bagaimana dengan umpan jauh.
Yang kedua adalah soal pemanfaatan long pass. Di luar, long pass adalah cara untuk keluar dari kerumunan dan menghidari pressing. Di Indonesia justru sebaliknya. Kerumunan pemain malah disambut dengan long pass. Kena pressing, solusinya adalah gasrak lawan secara asal-asalan.
Masalah ini juga sudah sering dikeluhkan oleh pelatih asing dan juga pemain asing di Liga 1. Menurut mereka, pemain lokal Indonesia tidak punya daya imajinasi atau berpikir secara kognitif.
Timnas Indonesia sebenarnya sangat beruntung punya pelatih sekelas Shin Tae-yong dan Indra Sjafri yang sangat mengerti taktik serta dasar sepak bola.
Sayangnya kebiasaan pemain Timnas Indonesia di klub sering terbawah saat bermain di Timnas Indonesia secara sadar maupun tidak.