Sepakan

Klub Anak Papa atau Klub Prestisius? Persija Jakarta dan Kontribusinya Bagi Timnas Indonesia

85
×

Klub Anak Papa atau Klub Prestisius? Persija Jakarta dan Kontribusinya Bagi Timnas Indonesia

Sebarkan artikel ini
persija jakarta timnas indonesia
gambar/persija.id

Bermain dengan bangga
Penuh rasa percaya
Demi lambang Monas di dada
Jangan pernah mudah menyerah
Kemenangan di depan mata
Ayo Persija bangkitlah dan juara

Penggalan lirik dari salah satu chant yang kerap dinyanyikan oleh Jakmania saat Persija berlaga. Monas adalah ikon Jakarta. Banyak yang bilang, belum sah ke Jakarta kalau belum melihat Monas. 

Sebagai klub asal Ibu Kota, tak salah jika Persija memasang Coat of Arms Jakarta yang ada gambar Monas-nya. 

Jakarta sendiri menjadi tempat ribuan bahkan jutaan penduduk Indonesia untuk mengadu nasib.

Dan sama seperti Jakarta yang penuh rayuan dan gemerlap, Persija juga menarik minat banyak pemain untuk bergabung. Terutama pemain Timnas.

Padahal saat kompetisi Perserikatan dan Galatama dilebur, Persija, meski punya sejarah yang panjang, saat itu tak lebih dari tim semenjana dan kurang dukungan dari suporter fanatik.

Adalah Sutiyoso, yang pada tahun 1997 menjabat sebagai Gubernur Jakarta, yang pada awalnya menjadikan Persija sebagai kendaraan politik untuk mendapatkan massa, akhirnya benar-benar mentransformasi Persija menjadi tim elit.

Tak tanggung-tanggung, pada musim 1997-1999, Persija merekrut beberapa pemain Timnas. Yang paling terkenal saat itu adalah Nur'alim, Widodo. C. Putro, dan Rochy Putiray. Penampilan Persija musim itu ganas. Seganas gambar macan yang tercetak di bagian depan jersi.

Duet “Wiro (Widodo – Rochy) Sableng” di lini serang Persija mampu membuat gentar tim lawan. Sayang Wiro Sableng ternyata tak mampu menang ketika berhadapan dengan Krismon. Ya, Krisis Moneter melanda Tanah Air.

Ketika kompetisi kembali bergulir pada musim 1998-1999, Persija kembali melanjutkan tradisi skuat mewahnya. Dan akhirnya pada musim 2001, Persija keluar sebagai juara setelah mengalahkan PSM di final.

Saat itu Persija diperkuat oleh dua pemain muda yang sudah menjadi andalan Timnas: Bambang Pamungkas dan Gendut Doni.

Pada musim 2005, boleh dibilang hampir separuh pemain Persija adalah pemain Timnas. Sebut saja Hamka Hamzah, Ismed Sofyan, Charis Yulianto, Kurniawan Dwi Yulianto, dan Ortizan Solossa.

Sayang mereka harus kalah di final oleh Persipura. Boaz Solossa, adik kandung dari Ortizan Solossa, tampil gemilang dalam laga itu.

Saya ingat sekali saat final musim 2005, saya sedang melanjutkan kuliah di Jawa Tengah, meninggalkan Jakarta. Dan saya menonton bersama teman-teman kos.

Salah satu teman kos saya yang juga Jak Mania, sesumbar, kelak Boaz Solossa akan memperkuat Persija. Sesumbar yang sama diucapkannya lagi saat menyaksikan kegemilangan Markus Horison di fase gugur Liga Indonesia musim 2008. 

Memang Boaz dan Markus tidak pernah memperkuat Persija sepanjang karirnya. Namun, sesumbar teman saya ada benarnya. Jika memang ada tawaran dari Persija, sulit untuk ditolak. Status sebagai klub Ibu Kota juga menjadi prestise tersendiri.

Bahkan saat musim 2019, Persija tengah terpuruk setelah berhasil menjadi juara pada musim sebelumnya, tidak menjadi halangan bagi beberapa pemain untuk memperkuat skuat Garuda.

Hebatnya, meski disindir sebagai “Klub Anak Papa”, Persija mampu mendidik pemain dari Persija Junior menjadi pemain level Timnas. Hasyim Kipuw, Abduh Lestaluhu, dan Ramdani Lestaluhu adalah contohnya.

Dan yang paling baru, Persija Jakarta berhasil memulangkan Witan Sulaeman setelah hampir 5 tahun mencoba peruntungannya di Eropa. 

Belum lagi ada 9 pemain Persija yang dipanggil oleh Shin Tae-yong ikut pemusatan latihan dalam rangka mempersiapkan skuat Piala Asia U-20.

Nampaknya memang mungkin benar adanya: Timnas adalah singkatan dari Tim Monas.