“Verboden Voor Honden en Inlander”
Papan peringatan itu sering terpasang di tempat-tempat yang hanya diperuntukan bagi orang Belanda dan Eropa saja.
Jika diartikan, mungkin dapat membuat darah mendidih: Anjing dan Pribumi Dilarang Masuk.
Diskriminasi dan rasisme pada zaman kolonial adalah hal yang lumrah. Pada masa itu, kasta penduduk dibagi 3: Golongan Eropa yang meliputi orang Belanda dan Eropa. Lalu ada Golongan Timur Asing, yang meliputi orang Cina dan Arab. Dan tentu saja yang paling bawah, Golongan Pribumi.
Bahkan orang Cina dan Arab saja saat itu sering mendapatkan perlakuan diskriminatif.
Papan peringatan tersebut juga terpasang di tempat-tempat olahraga. Salah satunya lapangan sepakbola.
Bermain bola adalah suatu kemewahan saat itu. Bahkan Bung Karno mengatakan dalam otobiografi-nya, kemewahan saat itu yang tidak dapat dirasakan olehnya dan anak-anak lain adalah bermain bola.
Saat aturan mulai dilonggarkan, tetap saja banyak tindakan diskriminatif oleh induk sepakbola saat itu, NIVU, terhadap bond-bond milik Pribumi dan orang Cina.
Maka kemudian dibentuklah PSSI agar semua bond bisa setara.
Kemudian berkat perjuangan para pendahulu, sekarang kita bebas bermain bola.
Kasus rasialisme di Indonesia sendiri, masih belum dapat dihimpun datanya. Karena biasanya tidak dianggap serius oleh otoritas yang berwenang.
Seperti yang dialami oleh Rivaldo Wally dan Ardilles Rumbiak. Keduanya mendapat perkataan rasis dari suporter dan pemain Persikota pada kompetisi Liga 3.
Di Indonesia, tindakan rasisme lebih sering terjadi lewat media sosial. Akun medsos Patrich Wanggai diserbu oleh oknum suporter Persija. Memang, saat itu Patrich Wanggai yang memperkuat PSM Makassar, melakukan selebrasi yang provokatif. Tapi membalasnya dengan tindakan rasisme bukan suatu pembelaan.
Bahkan rasisme tidak hanya terjadi pada pemain Papua saja. Hamka Hamzah dan Lerby Eliandry pernah menjadi korban tindakan tak terpuji ini lewat komentar di akun media sosial mereka.
Pelatih Rene Alberts juga mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan di akun media sosialnya dari oknum suporter Persib yang kecewa dengan performa timnya saat itu.
Atau yang masih hangat, bagaimana tak terpujinya oknum suporter kita yang habis2an mem-bully pemain Vietnam, Doan Van Hau di media sosial akibat permainan kasarnya sewaktu melawan Timnas Indonesia pada ajang Piala AFF 2022 lalu.
Salah satu kendala memberantas tindakan tersebut adalah tidak adanya undang-undang yang jelas dan pihak berwenang seperti malas menanggapi. Apalagi kejadian berlangsung di dunia maya.
Dulu para pejuang berani pasang badan demi kemerdekaan Indonesia. Agar rakyat ini bisa bebas bermain dan menyaksikan sepakbola tanpa adanya diskriminasi. Kini mereka malah melakukan aksi tak terpuji itu sembari bersembunyi lewat akun abal-abal.
Pengecut.