Sepakan

Sepakbola Ada Karena Kita Merdeka

40
×

<strong>Sepakbola Ada Karena Kita Merdeka</strong>

Sebarkan artikel ini
Foto Amir Sjarifuddin, Sjahrir, Hatta Sepakbola
twitter/potretlawas

TIMNAS.CO – Seperti kebanyakan tokoh bangsa, Amir Sjarifoeddin berasal dari keluarga terpandang. Kakek dan ayahnya berprofesi sebagai jaksa. Amir bisa bersekolah di ELS, sekolah khusus untuk orang Eropa dan pribumi terpandang. Dan dari sinilah perkenalan Amir dengan sepakbola dimulai.

Hobinya bermain bola itu terus berlanjut saat Amir melanjutkan studinya ke Belanda. Di Negeri Kincir Angin tersebut, Amir rutin bermain bola bersama teman-temannya.

Sayang tidak terlalu banyak data atau sumber yang lebih detail mengenai peran Amir saat bermain bola. Namun, jika melihat pandangan politiknya yang mengarah ke kiri, bisa saja kita menerka Amir Sjarifoeddin berposisi di sayap kiri.

Serupa dengan Amir Sjarifoeddin, Sutan Sjahrir yang merupakan kawan seperjuangan Amir, juga berasal dari keluarga terpandang. Ayah Sjahrir juga berprofesi sebagai jaksa. Walau lahir di Sumatera Barat, tapi Sjahrir tumbuh di Medan.

Statusnya sebagai anak pejabat pribumi membuatnya dapat mencicipi rasanya bermain sepakbola yang pada masa itu hanya terbatas bagi golongan atas saja. Rupanya Sjahrir pandai bermain bola. Dia terkenal sebagai penyerang tengah yang andal dan rajin mencetak gol.

Saat Sjahrir dibuang ke Boeven Digoel, turut serta Mohammad Hatta. Mereka sudah saling kenal saat keduanya sama-sama melanjutkan studi di Belanda.

Selain sama-sama berasal dari Sumatera Barat, ada hal yang membuat mereka makin akrab: sepakbola. Bersama-sama mereka membentuk klub sepakbola bernama Suci Hati. Klub ini berisi kaum buangan dan warga lokal. 

Ketika mereka dipindahkan dari Boeven Digoel ke Banda Neira, aktivitas mereka bermain bola tetap berlanjut. Selain mengusir rasa sepi di pembuangan, sepakbola adalah sarana yang pas untuk berinteraksi dengan warga lokal.

Mohammad Hatta sendiri juga berasal dari keluarga terpandang di Bukittinggi. Hingga dia bisa bergaul dengan orang Belanda dan Eropa. Dalam pergaulannya, Hatta berkenalan dengan sepakbola dan kecanduan.

Hatta sering dimarahi neneknya jika ketahuan main bola. Neneknya cemas kalau-kalau kaki Hatta patah. Saat sekolah di MULO yang ada di Kota Padang, barulah Hatta bisa benar-benar bebas bermain bola. 

Lalu ada Tan Malaka. Bagi Amir, Sjahrir dan Hatta, Tan Malaka adalah mentor politik mereka. Sjahrir memanggil Tan Malaka dengan panggilan hormat: Engku. Sama seperti Hatta dan Sjahrir, Tan Malaka juga berasal dari Sumatera Barat.

Tan Malaka sudah mengenal sepakbola dari kecil. Saat remaja, Tan Malaka sudah menunjukkan kecerdasan intelektualnya. Saat usia 16 tahun, Tan Malaka mendapatkan beasiswa dari pemuka masyarakat di Suliki untuk melanjutkan sekolah ke Belanda.

Di Belanda, Tan Malaka tetap melanjutkan hobinya bermain bola. Dalam Magnum Opus-nya yang berjudul Madilog, Tan Malaka menggunakan sepakbola sebagai analogi pemikirannya. 

Lain lagi dengan Jenderal Besar Sudirman. Sudirman bukan berasal dari keluarga terpandang. Tapi dia beruntung punya ayah angkat seorang ningrat.

Sudirman mendapatkan pendidikan layaknya priyayi. Dan sudah tentu bisa bergaul dengan kalangan atas Belanda sehingga Sudirman bisa mengenal sepakbola.

Saat remaja, Sudirman mendirikan klub bernama Banteng Muda di Cilacap. Namun, karena sepakbola juga, Sudirman takut ditolak saat mendaftar menjadi anggota PETA (Pembela Tanah Air). Alasannya, Sudirman pernah cedera kaki saat bermain sepakbola. Untunglah sang istri meyakinkannya. Jika tidak, mungkin sejarah bisa berubah.

Amir Sjarifoeddin, Sutan Sjahrir, Mohammad Hatta, Jenderal Sudirman, Tan Malaka. Jika saja saat itu mereka memilih untuk hidup nyaman, tentu saja sejarah bangsa ini bisa berbeda. 

Bayangkan, saat ini mungkin kita tidak bisa merasakan nikmatnya bermain dan menonton pertandingan sepakbola karena pada masa itu, sepakbola adalah sebuah kemewahan. Tidak sembarang orang bisa menikmatinya. Seorang kawan Bung Hatta bahkan harus berpura-pura jadi tukang jinjing sepatu agar bisa masuk ke lapangan sepakbola.

Bahkan sejak dulu para Bapak Bangsa sudah memikirkan bahwa sepakbola bisa dijadikan alat pemersatu bangsa. Dan para Bapak Bangsa ini memilih jalan yang terjal, agar bangsa ini bisa menikmati sepakbola. Maka terkutuklah mereka yang menjadikan sepakbola sebagai sarana pemuas syahwat duniawi semata.