TIMNAS.CO – Ratu Tisha adalah sesuatu dalam sepak bola indonesia. Sebelum kehadiran Ratu Tisha, manajemen PSSI -diibaratkan- tidak ubahnya seperti warung kopi.
Di dalam warung kopi semua orang bebas bicara apa saja. Dalam diskusi warung kopi semua pendapat dicurahkan, mungkin akan ada pendapat yang benar dari seorang pelanggan yang memiliki referensi yang benar, tapi secara umum semua semua pendapat datang dari spekulasi dan subjektifitas, kadang hanya untuk sekedar unjuk eksistensi.
Dengan manajemen warung kopi, federasi sepak bola diurus serba spekulatif, dalam beberapa hal ada benarnya, tapi lebih sering meleset, belum lagi kepentingan politis yang telah berakar tunggang di dalamnya.
Sampai datang Ratu Tisha seorang ilmuan matematika yang mengaplikasikan ilmunya pada riset statistik sepak bola.
Perusahaan statistik sepakbola pertama di indonesia, ketika sepak bola indonesia masih dibaca dengan kacamata prediksi kualitatif dan sedikit perdukunan. Ratu Tisha diantara orang-orang awal indonesia -mungkin yang pertama- yang ikut menulis pada jurnal-jurnal sepakbola internasional.
Sampai kemudian dia mendapat beasiswa Master FIFA, sebuah program magister ilmu sepakbola yang hanya menerima belasan mahasiswa dari sekian ratus pendaftar di seluruh dunia.
Dan sekali lagi Ratu Tisha adalah orang indonesia pertama dan juga perempuan yang mendapatkan kesempatan emas belajar di tiga negara Eropa itu.
Ratu Tisha datang membawa otak dalam sepakbola indonesia, setelah sekian dekade sepakbola indonesia berjalan tak tentu arah.
Seluruh insan sepakbola mendapat “qlue” tentang bagaimana sepakbola indonesia diurus agar maju dan profesional. Bagaimana membina sepakbola tidak dengan instan, tapi seperti menanam pohon, harus dirawat, dipupuk dan disiram sejak tunas hingga tumbuh kuat.
Dengan perencanaan yang matang sejak pembinaan usia dini dan menghidupkan iklim kompetisi yang baik Tisha memperkirakan -jika planingnya berjalan dengan benar- maka 2035 indonesia seharusnya sudah masuk piala dunia.
Setidaknya tapakan kaki itu sudah menunjukkan arah yang benar ketika indonesia dibawah asuhan Shin Tae Yong mampu menembus Piala Asia.
Meraih prestasi tidak boleh dengan cara pandang “tambal sulam”, tetapi harus holistik, yaitu pembangunan ekosistem yang benar-benar menitikberatkan pada aspek pembinaan, dan itu semua sangat berhubungan dengan hal-hal fundamental.
Seperti pembangunan kemampuan pemain meliputi fisik, teknik dan mental sejak dari hulu SSB/Klub hingga di hilir timnas.
Ada hal yang menarik ketika Ratu Tisha berusaha mencari pelatih yang akan membina timnas Indonesia, satu hal yang membuat Tisha akhirnya memilih Shin Tae-yong.
Dalam hal melatih pemain, Shin Tae Yong memiliki filosofi “Disiplin Tanpa Toleransi”. Bagi ratu tisha itu adalah “virtue” yang penting bagi pembangunan Timnas.
Tisha sadar bahwa dalam hal skil pemain, kemampuan anak-anak indonesia tidak perlu diragukan lagi, namun satu hal yang menjadi penghambat timnas sejak dulu, yaitu disiplin.
Maka ketika Shin Tae-yong berhasil “dibujuk” tisha untuk melatih timnas, kita melihat peradaban sepakbola indonesia sedang disusunbangun kembali.
Hal-hal fundamental mulai dari fisik pemain, teknik dasar dan mental pemain sangat solid terlihat.
Walau hasilnya belum sempurna menggembirakan setidaknya arah timnas sudah benar dan pijakan pembangunan timnas sudah kokoh dan mengakar.
Dalam hal pembangunan mental, ketika Tisha ditanya bagaimana seharusnya pembangunan mental timnas?
Maka Tisha menjawab, timnas kita selamanya tidak akan menjadi pemenang selama kita berpikir Indonesia tidak akan dapat mengalahkan Brasil, karena Brasil adalah tim andalan juara dunia.
Kalah dengan Brasil harus dilihat sebagai faktor teknis, tidak ada beda Indonesia kalah melawan brasil, atau kalah melawan Malaysia ataupun kalah melawan Timor Leste.
Semua kekalahan adalah faktor teknis, tinggal kita cari kelemahan kita di titik mana, itu yang kita perbaiki. Satu mindset positif yang berhasil diinfiltrasi Tisha pada mental pemain dan insan sepakbola Indonesia.
Setidaknya mental itu yang coba dipraktekan Tisha ketika dia mampu meyakinkan seorang mantan pelatih timnas Korea Selatan sekelas Shin Tae Yong untuk mau melatih Indonesia, sebuah tim yang bukan kelas rata-rata dari juara asia seperti Arab Saudi ataupun Jepang.
Mental itu juga yang coba dibuktikan Tisha, ketika dia mampu melobi negara-negara di dunia untuk mau memilih Indonesia sebagai Tuan Rumah Piala Dunia U 20.
Ratu Tisha akhirnya terpilih menjadi Wakil Ketua PSSI setelah melewati drama dan intrik yang lucu.
Insan sepakbola setidaknya dijagat sosial media sempat kecewa ketika pemilihan pertama Ratu Tisha dinyatakan kalah.
Namun setelah pemilihan diulang, dan kemenangan diraih oleh Ratu Tisha, harapan dan kebahagiaan masyarakat sepakbola Indonesia kembali bergairah, harapan tentang sepakbola indonesia yang dikelola dengan ilmu.
Kepemimpinan PSSI yang baru, Ratu Tisha diketuai Oleh Erick Thohir seorang pengusaha pribumi yang cinta dan kesukaannya pada olahraga tidak perlu diragukan lagi.
Juga Ratu Tisha didampingi oleh Wakil Ketua PSSI Zainudin Amali, Menpora yang mendapat gelar Profesor Kehormatan dalam bidang Ilmu Kebijakan Olahraga dari Universitas Negeri Semarang.
Sungguh tandem yang baik dan dapat menjadi modal yang cukup dalam pembangunan masa depan sepakbola Indonesia.
Satu hal lagi Ratu Tisha pernah berkata, “jika dadaku dibelah isinya hanya sepakbola”. Selamat bekerja untuk Ratu Tisha dan PSSI, selamat membangun sepak bola dengan ilmu dan cinta.