Sepakan

Polemik Rangkap Jabatan dan Etika Jabatan Menteri

51
Erick Thohir dan Zainudin Amali Rangkap Jabatan
Foto: Setkab/Rahmat

TIMNAS.CO – Polemik masalah rangkap jabatan di masih belum usai. Meski sudah menyatakan mundur dari jabatannya sebagai Menpora agar bisa fokus di PSSI, dan kabarnya sudah disetujui oleh Presiden, namun belum ada pengumuman resmi saat tulisan ini dibuat.

Yah sambil menunggu, mungkin bisa kita bahas sedikit tentang masalah ini. 

Sudah sejak lama masalah rangkap jabatan ini menuai kritikan di masyarakat. Pejabat negara, dalam hal ini menteri juga termasuk, diamanahi mengemban jabatan demi kepentingan publik.

Namun pada kenyataannya, tidak membatasi aktivitasnya dalam ruang publik hanya sebatas pada kewenangan yang melekat pada jabatannya.

Seperti yang kita ketahui bersama, menteri adalah jabatan politis. Dan mengangkat serta mencopot menteri adalah hak prerogatif presiden. Apalagi negara kita memang menganut sistem presidensial.

Sistem presidensial sebenarnya membuka peluang pembentukan kabinet yang terdiri atas menteri-menteri yang punya kapasitas dan integritas.

Dalam sistem presidensial, presiden memilih sendiri menteri tanpa melihat asal partai seperti pada sistem parlementer.

Namun, dalam sistem multipartai seperti di Indonesia ini, presiden terpilih harus mengelola koalisi seperti dalam sistem parlementer karena partainya tidak mungkin mendapatkan suara mayoritas.

Bila tak dikelola, kepentingan-kepentingan politik akan menyebabkan presiden sulit membuat kebijakan.

Cara efektif mengelola kepentingan politik adalah berbagi kekuasaan. Karena itu, jabatan menteri dan wakil menteri menjadi alat tukar dalam negosiasi.

Meski begitu, memang tak melulu menteri harus dari partai politik. Menteri Luar Negeri misalnya, dipilih dari diplomat karir. 

Lalu apakah rangkap jabatan merupakan suatu pelanggaran norma hukum?

Secara konteks, rangkap jabatan merupakan pelanggaran etika. Bisa jadi melanggar norma hukum, namun terbatas seperti yang diatur dalam Pasal 23 UU No.39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara:  

“Menteri dilarang merangkap jabatan apabila jabatan yang dimaksud adalah sebagai pejabat Negara lainnya, atau menjadi komisaris/direksi pada perusahaan Negara/perusahaan swasta, atau merangkap sebagai pimpinan organisasi yang dibiayai oleh APBN/APBD”

Diluar itu, menteri atau pejabat Negara setingkat menteri yang melakukan rangkap jabatan, tidak bisa dilengserkan dari jabatannya, kecuali diberhentikan oleh Presiden seperti syarat yang diatur dalam Pasal 24 UU No.39 Tahun 2008.

Dalam kasus dan Zainudin Amali ini, tidak melanggar ketentuan rangkap jabatan seperti yang diatur dalam UU Kementerian Negara karena yang bersangkutan tidak secara langsung melanggar norma hukum. 

Dan bagaimana dengan permasalahan “PSSI tidak dibiayai APBN/APBD?”

PSSI kabarnya tidak mendapat kucuran dana lagi dari APBN sejak 2015. Namun kabarnya PSSI menerima APBN untuk persiapan Piala Dunia U-20 2021 yang akhirnya diundur ke 2023. Publik pun makin gaduh. 

Secara etika, memang lebih elok jika ketua dan wakil ketua mengundurkan diri dari jabatannya sebagai menteri.

Dan etika itu sebenarnya lebih tinggi dari norma hukum. Bahkan bisa jadi terobosan.

Pejabat publik yang bertindak secara etis dengan meletakkan jabatan politiknya, maka akan terbuka kemungkinan di mana living law suatu saat akan menjadi hukum tertulis.

Kodifikasi akan terjadi, ketika apa yang sudah hidup dalam masyarakat telah berevolusi dan diterima secara teratur dan dijadikan sebuah sistem oleh otoritas.

Dengan meletakkan jabatan sebagai menteri, maka akan lebih fokus. Apalagi seperti janji mereka yang ingin memajukan sepakbola Indonesia. Selain itu juga terhindar dari konflik kepentingan.

Kemudian masalah anggaran PSSI, sudah saatnya dilakukan transparansi mengenai hal ini supaya tidak menimbulkan gunjingan publik. Apalagi PSSI sendiri sebenarnya sudah mandiri secara finansial.

Dana melimpah dari sponsor salah satunya. Hingga tak ada lagi gunjingan: “Bola mulu emangnya ga ada yang lain apa. Mending anggarannya buat olahraga yang lain saja”.

Semoga polemik ini cepat selesai. Apalagi saat ini kritikan dan sindiran mengenai masalah ini malah lebih bersifat politis. Cuma marah-marah tanpa memberi argumen yang jelas.

Exit mobile version