Persib Bandung vs PSMS Medan: El Clasico Indonesia Yang Terlupakan

Timnas.co - Akhir pekan kemarin pecinta sepakbola dihibur dengan 4 laga derby panas di 3 liga elit Eropa yang berbeda. Yang pertama ada De Klassiker antara Ajax Amsterdam dengan Feyenoord Rotterdam. Ajax dan Feyenoord merupakan dua klub sarat trophy di liga Belanda. Pertemuan keduanya sering diwarnai perkelahian antar suporter. Bumbu perbedaan kultur antara kota Amsterdam dengan Rotterdam membuat derby ini jadi semakin menarik. Amsterdam mewakili kultur kebebasan. Sementara Rotterdam lebih konservatif. Laga yang berlangsung Minggu, 19 Maret sendiri dimenangkan oleh Feyenoord dengan skor 3-2 di kandang Ajax, Johan Cruijff ArenA. Johan Cruijff sendiri pernah membela kedua klub. Kemudian di Serie A Italia, ada dua derby pada hari yang sama, yang pertama tanding adalah Derby della Capitale antara Lazio vs AS Roma. Derby antar dua klub ibukota Italia ini juga diwarnai dengan bumbu kultur sosial dan politik. AS Roma mewakili golongan pekerja, sementara Lazio mewakili golongan menengah. Lazio sendiri menolak penggabungan beberapa klub ibukota yang digagas oleh jenderal fasis Benito Mussolini. Kemudian ada Derby d'Italia antara Juventus vs Inter Milan. Bagi Inter Milan, Juventus adalah bentuk keberpihakan FIGC, atau PSSI-nya Italia. Juventus memang sering dianggap mendapat perlakuan khusus. Persaingan memanas saat skandal calciopoli terungkap pada 2000-an. Juventus dipreteli 2 gelar scudetto dan diberikan ke Inter Milan yang pada dua musim menjadi runner-up. Dan semua ditutup oleh derby El Clasico antara Real Madrid vs Barcelona. Dua klub paling besar di Spanyol dan berlimpah gelar ini merupakan perwakilan dua kutub politik yang berlawanan di negeri Matador. Real Madrid dianggap sebagai kekuatan pemerintah pusat. Sementara Barcelona adalah bagian dari posisi yang menuntut kemerdekaan penuh bagi Catalonia. El Clasico Indonesia Yang Terlupakan Di Indonesia sendiri, ada beberapa derby yang boleh dibilang panas. Salah satunya Persebaya Surabaya vs Arema. Namun persaingan mereka dimulai pada saat Perserikatan dilebur dengan Galatama. Surabaya dan Malang sendiri adalah dua kota besar di Jawa Timur. Bagi suporter Persebaya, suporter Arema hanyalah sekelompok suporter Persema Malang yang pindah gerbong mendukung Arema karena sudah bosan melihat Persema Malang seret prestasi. Tapi jika ditanya derby mana yang paling panas dan sarat akan persaingan, maka jawabannya adalah Derby Superklasik antara Persib Bandung vs PSMS Medan. Rival utama Persib Bandung sejak era perserikatan bukanlah Persija Jakarta. Bagi sebagian besar orang, rivalitas antara Persib-Persija adalah rivalitas artifisial alias buatan yang dibumbui oleh suporter masing-masing klub. Persib Bandung adalah pengoleksi 7 gelar juara. 5 diantaranya adalah juara Perserikatan dan 2 adalah juara Liga Indonesia. Sementara PSMS punya 6 gelar juara yang semuanya adalah gelar Perserikatan. Persib yang bermain taktis, cepat, dan elegan bagaikan mewakili kelompok aristokrat tanah Parahyangan. Sementara PSMS lebih dikenal dengan permainan keras atau sering disebut rap-rap, bagaikan mewakili para pemikir era kemerdekaan yang cenderung tegas dan lugas. Kedua suporter juga memiliki akar yang fanatik dan turun temurun. Jika punya anak, maka anaknya akan didoktrin untuk mendukung Persib atau PSMS. Salah satu doktrinnya adalah dengan mengajak langsung ke stadion. Persib dan PSMS juga rajin melahirkan talenta-talenta hebat yang kemudian menjadi tulang punggung untuk tim nasional Indonesia. Rivalitas pertama kedua klub terjadi pada pertandingan final Kompetisi Kejuaraan Nasional PSSI 1967. Persib harus rela jadi runner-up setelah dikalahkan 2-0 oleh PSMS. Rivalitas Persib dengan PSMS semakin panas pada tahun 80-an. Kedua tim ini bentrok dalam dua laga final Divisi Utama 1983 dan final Divisi Utama 1985. Dalam dua laga final tersebut, Persib kalah lewat adu penalti. Final Divisi Utama 1985 kemudian menjadi sebuah catatan sejarah bagi sepakbola Indonesia. Bayangkan, sebuah kompetisi semi amatir mampu menarik 150 ribu suporter yang menyaksikan secara langsung di Stadion Utama Senayan. Sebuah catatan yang kemudian menjadi rekor dunia. Kapasitas Stadion Utama Senayan sendiri hanya 120 ribu. Bahkan pemain dari kedua klub pesimis laga akan dilangsungkan karena penonton membludak. Pada saat Persib akhirnya menjuarai Divisi Utama 1986 setelah pada tahun sebelumnya gagal, ada sebuah kisah menarik. Kantor sebuah media besar ternama di Bandung, dikirimi ayam bakar oleh seorang yang tidak dikenal. Namun orang tersebut meninggalkan pesan yang isinya agar orang-orang yang bekerja di sana yang juga merupakan suporter Persib Bandung, menikmati ayam bakar tersebut. Ini merupakan suatu bentuk ejekan untuk PSMS yang berjuluk Ayam Kinantan. Panasnya rivalitas Persib-PSMS ini juga diamini oleh legenda Persib, Supardi Nasir. Supardi yang asli Medan juga pernah memperkuat PSMS. Bagi Supardi, tiap kali berhadapan dengan Persib di Stadion Teladan, ada atmosfer yang berbeda. Begitu juga saat Supardi yang kemudian berseragam Persib, ada ketegangan tersendiri saat menghadapi PSMS di Stadion Siliwangi. Sayangnya, kini PSMS sedang terpuruk di Liga 2. Konflik dualisme selalu mempreteli kebesaran sebuah klub demi memenuhi ego pribadi. Pertemuan terakhir mereka terjadi di Liga 1 2018 pada laga pekan ke-30 yang berlangsung di Stadion I Wayan Dipta, Gianyar. PSMS berhasil menjungkalkan Persib 1-0 lewat gol Felipe Martins di menit ke-53. Uniknya, kekalahan atas PSMS ini semakin memperberat usaha Persib dalam perebutan gelar juara musim itu. Semoga El Clasico-nya Indonesia ini dapat segera kembali terjadi lagi di kompetisi teratas sepakbola Indonesia.

Baca Juga