Paiman. Namanya mungkin terdengar sangat lokal sekali. Namun rambutnya pirang. Matanya biru. Postur tubuhnya juga bukan postur pribumi.
Paiman memang berdarah Belanda. ayahnya seorang serdadu Belanda yang kabur setelah memperkosa ibunya, warga pribumi di suatu kampung. Paiman bersama ibunya hidup sederhana.
Masa kecil Paiman jauh dari kata bahagia. Dirinya kerap mendapatkan perundungan dari warga kampung yang membenci bangsa Belanda. Namun Paiman tidak pernah marah.
Setelah dewasa Paiman bertekad membebaskan kampungnya dari cengkraman Belanda. Tidak ada kata dendam meski dulu warga kampung menghinanya. Bahkan Paiman sama sekali tidak membenci bangsa Belanda. Yang dia benci hanya penjajahan yang tidak manusiawi.
Itulah cuplikan film jadul “Samson dan Delilah” yang dibintangi oleh Paul Hay dan Ratu Horror Suzzanna.
Tidak ada prasangka dalam diri Paiman. Sama seperti para Bapak Bangsa yang hidup berdampingan dengan orang-orang Belanda. Kebencian mereka alamatkan ke sistem kolonial. Bukan pada orangnya. Sebagian malah terlihat hubungan asmara. Seperti Sutan Sjahrir dan Tan Malaka.
Pun dengan orang Belanda. Mereka juga tidak punya prasangka terhadap Pribumi. Bahkan saat konflik perebutan Irian Barat, mereka sebenarnya enggan untuk kembali ke Belanda karena menganggap Indonesia sebagai tanah airnya.
Namun kini manusia, terkhusus di Indonesia malah hidup penuh prasangka. Beda suku, agama, pemikiran, sudah cukup sebagai bahan bakar untuk menyalakan api pertikaian.
Dan yang terbaru adalah masalah pertanyaan seorang wartawan kepada anggota Exco PSSI soal masalah pemain naturalisasi. Pertanyaan wartawan tersebut mewakili prasangka yang ada tentang pemain naturalisasi.
Saat ini ada delapan pemain naturalisasi di Timnas Indonesia. Jumlah tersebut masih bisa bertambah. Menurut wartawan tersebut, saat ini banyak orang yang resah dengan jumlah pemain naturalisasi yang banyak.
Memang sejak dari dulu masalah naturalisasi pemain selalu menjadi pro dan kontra. Banyak yang menilai naturalisasi hanya akan membunuh kesempatan pemain lokal.