Biasanya menjelang musim baru, klub-klub top Eropa mengadakan pertandingan pramusim. Dengan tur ke benua Amerika atau ke Timur Jauh misalnya.
Selain sebagai pemanasan, pertandingan pramusim ini juga bertujuan untuk menyesuaikan taktik, terutama untuk pemain atau pelatih baru, juga sebagai evaluasi.
Jika masih ada yang dirasa kurang, klub bisa langsung berburu pemain baru atau menjualnya selagi jendela transfer belum ditutup.
Selain itu pertandingan pramusim juga bisa menjadi ajang promosi bagi klub-klub Eropa atau klub lain untuk memperkenalkan klubnya. Kompetisi liga tempat mereka bernaung juga jadi terangkat.
Meski bisa mengangkat nama baik kompetisi di negaranya, namun ada satu hal yang menjadi perhatian: klub-klub tidak pernah melibatkan asosiasi sepakbola negaranya untuk mengadakan pertandingan pramusim.
Football Association (FA) Inggris misalnya. Tidak pernah mencampuri urusan pramusim Manchester United, Arsenal, atau yang lainnya. Paling-paling hanya mengadakan laga Community Shield saja sebagai gong dimulainya Liga Premier Inggris.
Begitu juga dengan DFB Jerman, FIGC Italia, bahkan UEFA, jarang ikut campur dalam masalah ini.
Tapi beda di Indonesia. PSSI merasa perlu turun tangan untuk mengatur laga pramusim klub-klub yang bernaung di kompetisinya.
Sebenarnya tidak ada salahnya, namun apa yang dilakukan oleh PSSI bersama operator liga dinilai terlalu berlebihan. Contohnya adalah turnamen pramusim Piala Presiden.
Alih-alih menjadi turnamen mini, Piala Presiden malah berubah jadi turnamen betulan. Penyelenggaraannya pun hingga sampai satu bulan. Jadi mirip Piala Dunia.
Bukannya kebugaran yang didapat, pemain-pemain malah kelelahan menyambut musim baru.
Belum lagi turnamen pramusim ini malah sering memakan korban berupa cedera pemain. Bahkan korban dari pihak suporter pun ada seperti insiden di Stadion Gelora Bandung Lautan Api yang menewaskan dua suporter Persib Bandung.
Persija Jakarta misalnya. Pada Senin, 27 Maret kemarin berencana akan menggelar turnamen mini dengan mengundang klub dari Eropa.
