Nyaris tidak ada negara di dunia ini yang tidak dihuni atau tidak ada orang Indonesia yang bermukim serta mencari peruntungan di atas tanahnya.
Bahkan di negara ajaib macam Mozambik yang penuh dengan kelompok insurgent di bagian Utara, ataupun satu-satunya negara monarki absolut di dunia, Eswatini, pasti ada orang Indonesianya.
Jika orang Indonesia saja bisa ada di negara yang benderanya terpampang gambar senapan mesin, bagaimana dengan negara yang berdekatan, sesama anggota ASEAN misalnya. Tentu lebih banyak lagi.
Tak terkecuali di kawasan Indocina. Diaspora Indonesia ini bekerja di berbagai sektor. Dari formal maupun non formal.
Namun, dalam sektor olahraga, katakanlah sepakbola, hanya sedikit pesepakbola Indonesia mencoba peruntungannya di kawasan Indochina.
Paling-paling Thailand. Itu juga bisa dihitung dengan jari karena kompetisi sepak bola di sana punya standar yang lumayan tinggi.
Lagipula, budaya serta kebiasaan negara di kawasan Indocina jauh berbeda dengan di Indonesia.
Maka tidak heran, lebih banyak pesepakbola Indonesia yang memilih berkarir di selatan Semenanjung Malaya atau Malaysia karena secara budaya lebih dekat
Tapi tetap ada saja pesepakbola Indonesia yang mencoba mencari peruntungan dengan keluar dari zona nyaman. Dan bukan Malaysia atau Thailand, tapi lebih jauh lagi.
Pada tahun 2015, Indonesia terkena sanksi FIFA. Banyak pesepakbola yang harap harap cemas soal nasib dan statusnya.
Kondisi tersebut membuat bek Mitra Kukar, Dedy Gusmawan untuk melakukan tindakan yang cukup berani.
Daripada duduk menunggu menanti nasib, pesepakbola kelahiran Sumatera Utara tersebut menerima ajakan mantan pelatihnya di Mitra Kukar, Stefan Hansson, yang baru saja mendapatkan pekerjaan baru sebagai pelatih klub Myanmar, Zeyar Shwe Myay FC.
Bagi Dedy Gusmawan, ajakan dari pelatih asal Swedia tersebut adalah sebuah tantangan.
Myanmar sendiri merupakan raksasa sepakbola Asia Tenggara yang kini masih tertidur lelap. Dulu sewaktu masih bernama Burma, Myanmar adalah negara yang ditakuti jika bicara soal sepak bola.