Tapi rupanya masalah Persis Solo lebih dari sekedar lini belakang.
Dalam taktiknya, Leonardo Medina biasa memakai pola 3-5-2 dengan tiga bek sejajar. Saat menyerang, pola ini bisa berubah menjadi 3-4-3 dengan Alexis Messidoro diberi keleluasaan untuk bergerak ke depan.
Masalah muncul saat transisi dari menyerang ke bertahan.
Terjadi anomali di kedua sisi sayap Persis Solo. Jika mengalami serangan balik, kedua sayap lambat untuk mundur. Penalti Persebaya dan gol kedua Bruno Moreira adalah contoh terlambatnya sayap Persis Solo untuk turun menutup ruang.
Dan jika melakukan serangan balik, sayap Persis Solo malah ingin cepat-cepat maju melakukan serangan.
Gol Ricky Cawor terjadi akibat Althaf Alrizky malah maju duluan seakan yakin bola sudah sepenuhnya dikuasai.
Akibatnya, Ricky Cawor jadi tidak terkawal dan mendapatkan ruang tembak yang sempurna.
Selain masalah di sisi sayap, Persis Solo punya masalah dengan kemampuan Taufiq Febriyanto yang terlalu one dimensional.
Sebagai gelandang bertahan, tugas Taufiq Febriyanto adalah mengalirkan bola saat Persis Solo melakukan serangan, dan memutus aliran bola saat terjadi serangan balik.
Sayangnya dua tugas ini tidak mampu diemban oleh pemain berusia 26 tahun ini. Taufiq Febriyanto tidak mampu mengalirkan bola sehingga memaksa Alexis Messidoro untuk turun membantu.
Namun turunnya Messidoro ini beberapa kali malah membuat progresi aliran bola ke depan menjadi terganggu. Karena dua penyerang Persis Solo, Ramadhan Sananta dan Fernando Rodriguez lebih senang menunggu di area lawan ketimbang menjemput bola dari tengah.
Di bangku cadangan pelatih untuk menggantikan peran Taufiq Febriyanto sangat terbatas. Ada nama Chrystna Bhagascara, namun kemampuannya masih diragukan.
Terakhir, adalah masalah penjaga gawang.
Persis Solo dinilai tidak punya penjaga gawang yang bagus. Dalam artian penjaga gawang yang menguasai betul area di dalam kotak penalti dan mampu memberikan instruksi kepada pemain-pemain di depannya untuk menutup pergerakan lawan.