Sepakan

Dualisme PSSI yang Tidak Perlu Dikenang

78
×

Dualisme PSSI yang Tidak Perlu Dikenang

Sebarkan artikel ini
dualisme pssi

“Ga perlu kalian ikut-ikut. Fokus belajar saja”

Ujar salah satu tokoh senior olahraga hoki yang kami temui di tempat kerjanya. Waktu itu tahun 2005. Kami berencana membuat pengurus cabang di kota tempat kami belajar. Masalahnya, saat itu induk kepengurusan olahraga hoki mengalami dualisme kepemimpinan.

Ada PHSI (Persatuan Hoki Seluruh Indonesia) dan FHI (Federasi Hoki Indonesia). Keduanya menawarkan banyak tawaran menarik agar pengurus cabang yang kami dirikan bergabung dengan salah satu dari mereka.

Namun sebagai mahasiswa, idealisme kami waktu itu masih tinggi. Kami tidak mau terjebak dalam arus politik dualisme kepemimpinan sehingga kami merasa perlu mendapatkan masukan dari tokoh senior yang juga merupakan guru besar Fakultas Kedokteran Universitas di Jawa Tengah itu meski harus menempuh perjalanan selama 3 jam lebih.

Dan kami mengikuti saran beliau. Kami tidak jadi membuat pengurus cabang dan melanjutkan hobi kami bermain hoki lewat wadah Unit Kegiatan Mahasiswa di kampus kami. Dengan begitu, kami bebas untuk mengikuti tiap turnamen yang diadakan oleh PHSI atau FHI. Kami ingin olahraga ini berkembang, namun apa daya, kondisi tidak memungkinkan.

Waktu berlalu, dan kami sibuk dengan pekerjaan selepas lulus kuliah dan mulai jarang bermain hoki dan mendengar perkembangan beritanya.

Ternyata, sampai sekarang, polemik dualisme ini masih berlanjut. Imbasnya, Indonesia tidak dapat mengikuti turnamen internasional. 

Hoki memang bukan olahraga populer. Dan nyaris tak ada yang menggantungkan hidupnya dari hoki. Maka, polemik ini seperti dibiarkan berlarut.

Berbeda dengan sepakbola. Sebagai olahraga sejuta umat, banyak yang mengandalkan hidupnya dari sepakbola. Belum lagi dana yang selalu mengalir baik dari anggaran pemerintah, maupun sponsor. Penggemar yang banyak juga bisa dimanfaatkan sebagai kendaraan untuk suatu maksud tertentu.

Dualisme PSSI adalah sejarah kelam sepakbola Indonesia. Ketika dua pihak merasa yang paling benar, dengan dalih “Demi Sepakbola Indonesia”, nyatanya mereka hanya mementingkan diri mereka sendiri.

Mereka ketakutan kehilangan perut mereka dengan mengancam orang-orang yang menggantungkan hidupnya dari sepakbola.

Pertikaian antara dengan KPSI memunculkan banyak kerugian. Beberapa klub seperti Persebaya, Arema, dan Persija juga akhirnya mengalami dualisme.

Pemain bingung memilih berlaga di kompetisi yang mana. Karena PSSI dan KPSI sama-sama mendaulat diri sebagai badan persatuan yang sah.

Culasnya lagi, mereka sama-sama memanfaatkan rasa fanatisme suporter yang sebenarnya dalam pertikaian ini adalah pihak yang paling dirugikan.

Suporter yang sejak dulu memimpikan Timnas punya prestasi, harus melihat kenyataan ketika Timnas harus duluan masuk kotak karena gagal lolos fase grup Piala AFF 2012. 

Panik karena pemain terbaik Indonesia mayoritas bermain di ISL yang berada dalam naungan KPSI tidak bisa bergabung dengan Timnas karena ada ancaman pemutusan kontrak, PSSI akhirnya melakukan tindakan kamikaze dengan menaturalisasi pemain secara asal-asalan. 

Setelah FIFA mengeluarkan ultimatum pada Desember 2012, akhirnya Maret 2013, Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI diadakan. Hasilnya, Djohar Arifin tetap sebagai Ketua Umum, dan La Nyalla Mattalitti dari KPSI sebagai Wakil.

April 2015, PSSI kembali menggelar KLB di Surabaya. La Nyalla terpilih sebagai Ketua Umum untuk periode 2015-2019. Namun hasil KLB tersebut tak diakui Pemerintah lewat Kemenpora melalui surat.

Imbasnya, PSSI akhirnya dijatuhi sanksi FIFA. Timnas baik level senior ataupun senior beserta klub, dilarang tampil pada ajang internasional. Piala AFF U-16 dan U-19 yang sedianya dihelat di Indonesia, akhirnya dibatalkan.

Beberapa pihak berharap, sanksi FIFA ini dapat menyadarkan PSSI untuk memperbaiki diri. Mei 2016, FIFA akhirnya mencabut sanksi. Dan bulan November, akhirnya PSSI punya Ketua Umum baru setelah Edy Rahmayadi memenangkan voting. 

Nyatanya, setelah bertahun-tahun mengalami polemik, PSSI rupanya masih tetap sama. Dan kita sebagai penggemar sepakbola, adalah pihak yang selalu jadi korban.

Mengutip lirik lagu Semiotika Rajatega milik Homicide:

Dan masih jauh dibawah horizon minimal
Memiliki nasib yang sama dengan PSSI dalam kancah internasional

Entah sampai kapan PSSI terus jadi barometer ketidakberesan.