Sepakan

Dilema Asas Lex Sportiva Dalam Sepakbola Indonesia

111
Asas Lex Sportiva

TIMNAS.CO – Kemarin kita sempat membahas tentang pesepakbola dan tindak pidana. Kali ini kita akan membahas tentang ini lebih dalam.

Dalam dunia olahraga, ada yang dinamakan dengan asas Lex Sportiva. Asas ini bermakna bahwa dalam ruang lingkup olahraga, olahraga memiliki otonomi khusus untuk mengatur hukumnya sendiri dalam menyelesaikan setiap perkara yang terjadi dalam dunia olahraga.

Dalam sepakbola Indonesia, lembaga yang menaunginya adalah PSSI. yang terikat dengan statuta FIFA, memiliki kewenangannya sendiri dalam mengatur rumah tangganya tanpa campur tangan dari pemerintah.

Kompetisi sepakbola sendiri banyak diwarnai dengan berbagai masalah. Salah satu yang sering terjadi adalah masalah kekerasan terhadap wasit.

Seperti yang terjadi dalam laga antara PSPS Riau melawan PSIS Semarang tahun 2017 lalu.

PSPS merasa tidak puas dengan kepemimpinan wasit saat itu, langsung mengejar wasit hingga ke pinggir lapangan.

Nampak manajer PSPS, Al Sitra, tertangkap basah oleh kamera hendak melayangkan pukulan. Beruntung wasit bisa menghindar.

Atau yang paling diingat adalah kasus kekerasan terhadap wasit yang dilakukan oleh Pieter Rumaropen pada lanjutan kompetisi ISL tahun 2013.

Karena aksi brutalnya itu, wasit Muhaimin yang memimpin pertandingan antara Persiwa Wamena melawan Pelita Bandung Raya harus mendapat 3 jahitan di mulut.

Apa yang dilakukan oleh Al Sitra dan Pieter Rumaropen sudah dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Terutama Pieter Rumaropen, aksi brutalnya tersebut sudah memenuhi unsur pidana dalam pasal 351 KUHP.

Sayangnya, dalam olahraga ada Konvensi Dasar Olympic Yunani, Konvensi itu menyebutkan bahwa :

“Setiap peristiwa atau kejadian yang menimbulkan persoalan atau masalah antara pemain dengan pemain, atau juri/wasit, pengurus perkumpulan cabang olahraga, diselesaikan oleh induk olahraga yang bersangkutan”.

Konvensi tersebut dianut oleh PSSI dan tertuang dalam di Pasal 21 Anggaran Dasar (AD) PSSI tahun 2003:

“Setiap kasus baik perdata maupun pidana yang terjadi dalam persepakbolaan lingkungan PSSI hanya bisa diselesaikan oleh intern PSSI, dan tidak dibenarkan diajukan ke meja pengadilan”

Ditambah lagi dengan adanya Pasal 70 Statuta PSSI tahun 2011 tentang yurisdiksi:

“Tidak diperkenankan suatu permasalahan dibawa ke Pengadilan Negara, dan yang mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan permasalahan adalah internal PSSI”

Dalam menangani kasus-kasus seperti ini, menurut Statuta PSSI Pasal 64-71 mengenai Badan Peradilan, PSSI mempunyai badan khusus yang bernama Komisi Disiplin.

Sebenarnya, penerapan asas Lex Sportiva sudah tepat. Dalam olahraga memang sebaiknya tidak ada intervensi dari pihak luar.

Dalam hukuman yang diberikan jika terjadi pelanggaran dalam ruang lingkup sepakbola misalnya, terdapat hukuman denda berupa uang. Uang denda itu bisa digunakan untuk pengembangan sepakbola itu sendiri.

Sayangnya, di Indonesia, asas Lex Sportiva sepertinya menjadi tameng oleh PSSI. Dengan memiliki otonomi khusus, PSSI memiliki kewenangan untuk rumah tangganya sendiri dengan aturan-aturannya sendiri yang bahkan cenderung dibuat dan dilaksanakan secara tertutup.

Isu-isu seperti korupsi, pengaturan skor, kekerasan, masalah kontrak pemain, doping, penggelapan pajak, cenderung ditanggapi dengan tidak transparan dengan menjadikan asas Lex Sportiva sebagai tamengnya.

Dan dalam menangani masalah, sepertinya PSSI dirasa masih kurang tegas.

Contohnya dalam kasus kekerasan terhadap wasit yang terjadi pada pertandingan PSPS melawan PSIS, manajer PSPS dengan pongahnya mengeluarkan pernyataan bahwa dia sering memukul wasit.

Pernyataan kacau macam ini mungkin tak akan keluar jika PSSI dapat bertindak lebih tegas lagi. Tentunya dengan melakukan pembenahan di mana-mana agar tidak menodai lagi asas Lex Sportiva.

Exit mobile version