Kemudian di Italia ada masalah kesenjangan. Klub-klub dari utara selalu berjaya. Ini berbanding lurus dengan keadaan ekonomi di utara.
Bandingkan dengan klub-klub di selatan. Klub-klub selatan selalu identik dengan kemiskinan, jorok, kotor, dan penuh dengan mafia.
Sama dengan di Indonesia. Sejak dulu klub-klub dari pulau Jawa selalu berjaya. Ini juga akibat dari tidak meratanya pembangunan di Indonesia sejak dulu.
Sriwijaya FC dari Sumatera dan Persipura Jayapura dari Papua pernah mendominasi Liga Indonesia. Tapi hanya sebentar, lalu menghilang.
Sepakbola Italia dan Indonesia juga sangat kental dengan nuansa politik. Sepakbola di Italia telah menjadi alat propaganda rezim fasis Benito Mussolini.
Di Indonesia sendiri, banyak pejabat teras partai politik yang duduk di kursi jabatan klub dan PSSI.
Dan jika salah satu alasan Erick Thohir ingin membawa iklim sepakbola Italia ke Indonesia karena di Italia iklimnya nyaman, sepakbola adalah rekreasi keluarga, maka di Indonesia pun juga begitu. Sudah banyak rombongan keluarga yang datang ke stadion.
Mungkin maksud dan niat Erick Thohir baik. Tapi publik menilai Erick Thohir seperti masih hijau dalam urusan sepakbola.
Terlebih memang Erick Thohir pernah menangani klub Inter Milan. Tak salah jika Erick Thohir memberi pernyataan seperti itu.
Namun sepakbola tidak sebatas Italia saja. Ya, Italia memang bagus. Tidak ada salahnya mencontoh dari Italia. Tapi jika ingin memberantas pengaturan skor dan mafia bola, tentu bukan Italia kiblatnya.
Publik sebenarnya tidak ingin yang terlalu muluk. Pembenahan kompetisi, izin pertandingan yang tidak terlalu rumit, pengelolaan klub yang lebih profesional lagi, pembenahan masalah wasit, dan hal-hal kecil lainnya yang ada di depan mata pada saat ini. Itu yang terpenting.