Klub-klub Liga Premier Inggris (EPL) mengadakan rapat tahunan rutin guna menjelang datangnya musim baru. Dari hasil rapat tersebut, muncul kesepakatan bersama mengenai regulasi kepemilikan klub yang baru.
Dalam regulasi yang baru tersebut, terdapat larangan bagi calon investor atau calon pembeli klub peserta EPL menggunakan uang pinjaman sebagai modal pembelian.
Bagi penggemar Manchester United, regulasi ini seperti sudah terlambat terlalu lama. Sejak 2005 saat keluarga keturunan parasit, Glazer, mengakuisisi 98% saham klub tersebut lewat dana pinjaman. Hasilnya Manchester United-lah yang harus membayar utang tersebut sementara Keluarga Glazer tanpa tahu malu terus menyedot uang klub raksasa tersebut.
Dengan adanya regulasi baru tersebut, diharapkan setiap klub peserta EPL berada dalam kondisi keuangan yang sehat.
Bagi penggemar Manchester United, meski terlambat namun regulasi baru tersebut bagaikan angin segar karena saat ini salah satu pihak yang ingin membeli klub tersebut, Sir Jim Ratcliffe, juga disinyalir akan menggunakan uang pinjaman untuk mengakuisisi Manchester United.
Bagaimana dengan aturan kepemilikan klub di Indonesia? Ternyata kondisinya jauh lebih rumit.
Ketiadaan regulasi yang jelas, membuat banyak sekali klub siluman yang muncul di Indonesia. Seperti misalnya Sriwijaya FC yang berasal dari Persijatim. Atau Kalteng Putra yang berasal dari rahim Persepar Palangkaraya.
Sayangnya klub tersebut lantas tidak diurus lagi setelah tidak mendatangkan keuntungan. Akhirnya pemain terlantar. Gaji ditunggak.
Apalagi banyak klub siluman yang tidak mendapatkan lisensi dari AFC. Seperti kasus Bhayangkara FC yang keluar sebagai “juara” pada Liga 1 musim 2016-2017 namun tidak bisa mewakili Indonesia dalam kompetisi antarklub Asia.
Selain masalah di atas, ternyata cukup banyak klub di Indonesia yang dimiliki oleh satu pihak saja. Padahal dalam regulasi FIFA, hal tersebut tidak dibenarkan. Salah satu sanksi yang diberikan adalah tidak memberikan klub tersebut lisensi.