Memang benar apa kata Simon McMenemy soal ganasnya netizen Indonesia.
Mantan pelatih Timnas Indonesia tersebut pernah memposting komentarnya terhadap perilaku netizen. Ironisnya, bukannya sadar, para netizen maha hebat ini semakin bangga.
Bahkan parahnya ada yang mengaku jika tidak perlu malu disebut dengan SDM rendah.
Ada juga yang bilang jika bully lewat media sosial atau internet itu adalah melatih mental. Jika dikatain begitu saja sudah cengeng, bagaimana bisa bermain bagus di lapangan.
Inilah pentingnya kembali menggalakkan pemberian bubur kacang hijau gratis di Posyandu bagi para balita.
Dan yang paling parah dari itu semua adalah masalah rasisme di media sosial.
Ketikan jahat para netizen Indonesia yang mem-bully pemain dengan membawa warna kulit ataupun bentuk tubuh lainnya mungkin bisa membuat Martin Heidegger menggelinjang bangga di alam kubur sembari menerima cambukan malaikat Munkar dan Nakir.
Baru saja Liga 1 musim 2023-2024 berjalan selama dua pekan, masalah rasisme kembali muncul.
Kali ini korbannya adalah tiga pemain PSM Makassar: Yuran Fernandes, Erwin Gutawa, dan Yance Sayuri.
Selain tiga penggawa PSM, sayap lincah milik Persija Jakarta, Riko Simanjuntak, juga ikut menjadi korban ujaran rasisme di media sosial.
Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia (APPI) menyarankan agar Liga 1 musim 2023-2024 dihentikan saja sementara akibat kasus rasisme ini.
Dan rencana ini rupanya sampai di telinga Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, yang kabarnya setuju dengan usulan ini.
Namun mendengar kabar ini, para suporter bukannya bercermin, sadar diri, atau menghabiskan kuotanya dengan hal yang berguna, mereka malah makin kesal dengan usulan tersebut.
Seakan memang menjustifikasi jika SDM Indonesia benar-benar rendah.
Menurut mereka, rasisme tersebut terjadi di media sosial. Bukan di lapangan.
Pembahasan pun jadi melebar kemana-mana. Soal kerusuhan yang terjadi di Stadion Gelora BJ Habibie pada Sabtu kemarin, masalah kepemimpinan wasit, hingga ke masalah politik.