Tidak pernah ada jaminan jika seorang pelatih yang sukses menjadi pelatih Tim Nasional suatu negara akan bisa sukses juga melatih sebuah klub ataupun sebaliknya.
Marcello Lippi, Vicente del Bosque, atau Franz Beckenbauer adalah sedikit nama yang berhasil membawa Tim Nasional Dan klub berjaya.
Sederhananya, pemain terbaik saja belum tentu nanti bisa menjadi pelatih yang cakap.
Menangani klub beda formulanya dengan melatih Tim Nasional.
Dulu ada Chelsea yang pada 2008 coba mengembalikan kejayaan dengan merekrut Felipe Scolari untuk menggantikan Jose Mourinho. Felipe Scolari adalah pelatih Timnas Brasil saat Negara Samba tersebut keluar menjadi juara Piala Dunia 2002.
Atau bagaimana Timnas Spanyol yang yakin akan kemampuan Luis Enrique bersama Barcelona. Tapi ternyata gagal total. Begitu juga dengan Hansi Flick yang sukses bersama Bayern Munich namun gagal bersama Timnas Jerman.
Sebaliknya, ada pelatih yang biasa-biasa saja bersama klub seperti Didier Deschamps atau Lionel Scaloni yang di klub mentok sebagai asisten Jorge Sampaoli di Sevilla. Tapi baik Deschamps dan Scaloni berhasil membawa Prancis dan Argentina menjadi juara Piala Dunia.
Ada juga yang biasa-biasa saja baik di klub maupun Tim Nasional tapi dipuja bak dewa. Contohnya Marcelo Bielsa.
Maka ada pembagian pelatih spesialis klub dan pelatih spesialis Tim Nasional.
Meski begitu, tetap saja baik klub maupun Tim Nasional tidak kapok untuk mencoba peruntungan menggaet pelatih yang sukses bersama klub untuk menjadi pelatih Tim Nasional, atau sebaliknya.
Di Indonesia, fenomena ini sering terjadi. Ada suatu masa ketika pelatih yang sukses bersama klub kemudian diangkat menjadi pelatih Tim Nasional.
Rahmad Darmawan adalah nama jaminan mutu gelar juara pada medio awal dan pertengahan 2000-an.
Persipura Jayapura dan Sriwijaya FC pernah merasakan tangan dingin pelatih yang juga seorang mantan anggota Marinir ini.
Maka tidak heran jika kemudian PSSI kepincut memakai jasanya untuk menukangi Timnas Indonesia yang dahaga gelar.
