Shin Tae-yong lebih pragmatis dibanding Indra Sjafri yang mengandalkan possession. Shin Tae-yong lebih mengandalkan long pass untuk membongkar pertahanan lawan atau keluar dari tekanan.
Sayangnya, masih sedikit pemain Timnas Indonesia yang punya akurasi long pass mumpuni.
Oleh sebab itu Evan Dimas yang biasa menjadi langganan Timnas Indonesia tersingkir di era Shin Tae-yong karena tidak punya akurasi long pass yang baik. Shin Tae-yong lebih memilih Marc Klok yang cukup baik dalam hal ini.
Dan Shin Tae-yong lebih memilih penyerang yang punya kecepatan untuk mengejar bola.
Beda Shin Tae-yong, beda pula Indra Sjafri. Pada ajang Piala AFF U-19 2013 dimana Timnas Indonesia U-19 berhasil keluar sebagai juara, Indra Sjafri memakai taktik penguasaan bola dengan mengandalkan umpan pendek dan serangan yang mengandalkan lini kedua.
Taktik ini bisa berhasil karena satu faktor penting: pemain Timnas Indonesia U-19 saat itu masih belum terjun sebagai pemain profesional di Liga Indonesia.
Jadi mereka masih benar-benar murni dan tidak terpengaruh gaya main di klub Indonesia kebanyakan.
Faktor itu kemudian menjadi faktor kegagalan banyak eks Timnas Indonesia U-19 yang tidak berkembang. Karena saat terjun ke dunia profesional, mau tidak mau mereka jadi mengikuti gaya main klub.
Pada ajang SEA Games 2023, Indra Sjafri masih mengandalkan possession. Namun taktik ini berubah total saat Timnas Indonesia U-22 menghadapi Thailand U-22 di babak final.
Indra Sjafri paham, tidak mungkin meladeni Thailand dengan taktik penguasaan bola sebab Thailand punya kualitas teknis di atas Timnas Indonesia U-22. Untuk mengatasinya, Indra Sjafri memakai taktik high pressing dan ternyata berhasil.
Melihat kiprah Shin Tae-yong dan Indra Sjafri, semoga bisa melecut para pelatih dan pemain lokal di Liga 1 untuk semakin berkembang lagi dalam memahami teknik dasar bermain sepak bola karena sebenarnya tidak ada yang rumit dari taktik Guardiola, Shin Tae-yong, ataupun Indra Sjafri.