TIMNAS.CO – Yang paling saya ingat dari Pekanbaru selain cuacanya yang panas dan orangnya yang royal. Mereka senang sekali jajan makanan enak. Tak heran di Pekanbaru banyak sekali pusat kuliner bertebaran.
Apalagi di waktu malam. Tempat makan boleh dibilang tak pernah sepi. Soal harga, bagi mereka nomor sekian. Yang penting enak.
Sifat royal jugalah yang membuat manajemen klub PSPS Pekanbaru merekrut beberapa pemain ketika PSPS akhirnya ‘naik kasta' ke kompetisi teratas sepakbola Indonesia setelah 44 tahun berdiri.
PSPS yang merupakan juara Divisi I 1998-1999 langsung berbenah demi mengarungi kerasnya Divisi Utama 1999-2000.
Berbekal gengsi menyandang nama ibukota Riau yang selalu dikaitkan dengan status ‘Provinsi Terkaya di Indonesia' dan limpahan sponsor terutama dari Caltex. Jauh sebelum klub-klub Liga 1 sekarang yang jersey-nya penuh dengan sponsor, PSPS ternyata sudah duluan memulai tren tersebut.
Nama-nama macam Mbeng Jean, I Komang Mariawan, Gustavo Ortiz, Adnan Mahing, Nova Zaenal, Ritham Madubun hingga Joe Nagbe dan Joseph Lewono menghiasi skuat PSPS yang saat itu masih bermarkas di Stadion Hang Tuah, Pekanbaru.
Tampil perdana di kompetisi teratas ternyata tidak membuat PSPS kagok. Dengan hadirnya nama-nama yang sudah berpengalaman, PSPS berhasil menempati peringkat 5 klasemen akhir wilayah barat.
PSPS nyaris lolos ke babak 8 besar andai saja punya selisih gol lebih baik dari sesama tim Sumatera, PSMS Medan yang berada di peringkat 4.
Musim 2001-2002, PSPS diperkuat oleh Alain Mabenda yang menjadi top skor musim 1998-1999 dan membawa PSIS Semarang juara musim itu. PSPS merosot satu peringkat ke peringkat 6 klasemen akhir wilayah barat.
Barulah pada musim 2002-2003, PSPS melakukan gebrakan. Mereka merekrut nama-nama yang biasa menghiasi Timnas.
Tak tanggung-tanggung, mulai dari Hendro Kartiko, Bima Sakti, Eko Purjianto, hingga striker Kurniawan Dwi Yulianto. Sofyan Hadi yang musim sebelumnya berhasil membawa Persija juara, didapuk sebagai nahkoda tim.
Entah memang apes atau mungkin jodohnya, PSPS kembali hanya menempati peringkat ke-5 klasemen akhir wilayah barat.
Musim berikutnya, PSPS menggila. Uston Nawawi, Bejo Sugiantoro bergabung. Tak sampai situ, gelandang gempal nan lamban namun berbahaya, Carlos de Melo, juga masuk ke dalam skuat. Menyusul bek sayap penuh bakat, Erol Iba. Dan bek senior tangguh dengan jam terbang tinggi, Aples Tecuari.
Pemain PSPS pun benar-benar menggila di lapangan. Terbukti pada laga ke-6, Hendro Kartiko bersama dua rekrutan baru, Aples dan Bejo Sugiantoro, terlibat keributan dengan wasit.
Mereka dihukum dilarang bermain selama 9 bulan. Padahal musim itu PSPS menargetkan juara. Akhirnya ambyar dan PSPS terpental ke peringkat 9. Dan musim 2005, PSPS menempati posisi juru kunci wilayah barat dan harus relegasi ke Divisi I.
PSPS kembali lagi ke kasta teratas pada musim 2009-2010. Saat itu lini depan PSPS malah terbilang tajam meski bukan diisi pemain mewah. Pemain asli Riau, Muhammad Isnaini berduet dengan Herman Dzumafo, yang akhirnya menjadi cult hero bagi pendukung PSPS.
Hingga saat musim 2012-2013, PSPS mengalami musim yang sangat buruk. Dari tim dengan segudang sponsor, PSPS mengawali musim tanpa sponsor. Gaji pemain pun tertunggak.
Subsidi 1 milyar tidak dapat mencukupi tunggakan gaji pemain. Bahkan para suporter sampai harus mengadakan penggalangan dana.
Dengan kondisi seperti itu, PSPS tertatih-tatih di liga. Bahkan PSPS dibantai 9-1 oleh Persela Lamongan. PSPS kembali turun kasta.
Setelahnya, kiprah PSPS gitu-gitu aja. Kalaupun masuk tajuk berita, itupun karena masalah keributan.
Dan pada akhir Januari lalu, PSPS kembali masuk tajuk berita. Isinya: PSPS bubar.